BAB - 3

26.3K 1.1K 13
                                    


Kalau biasanya setelah absen para karyawan langsung masuk ke ruangan divisi masing-masing, pagi ini semua orang yang ku temui di lobby tampak tegang setengah berlari ke ruang meeting.

Hanya ada satu kemungkinan jika semua karyawan di kumpulkan secara tiba-tiba. Apalagi kalau bukan siraman rohani dari Big Boss. jika dalam mode aman, Bos adalah Hamba Allah. Maka dalam mode senggol bacok, Bos adalah Luciver.

Luciver yang duduk di kursi utama itu sedang menatap satu per satu karyawannya dengan tatapan tajam, setajam silet. Seketika hawa di dalam ruangan ini berasa kayak rumah hantu. Aku menelan ludahku pelan, Ku lihat Pak Haidar yang sibuk dengan ponselnya...

"Pak, udah ngasih tau yang lain?"
Bisikku pada pak Haidar.

"Udah tapi kayaknya percuma juga."
Jawab Pak Haidar yang terlihat frustasi mengingat tanggung jawabnya sebagai GM di hadapan Bos.

Hening!

"Dari tujuh puluh sekian karyawan, hanya dua puluh satu yang hadir di ruangan ini. Apa kalian bercanda?" Suara berat itu sukses membuat petinggi-petinggi yang hadir di ruangan ini gelagapan.

Tidak heran jika Bos bisa semarah itu, mengingat toleransi besar yang sudah ia berikan untuk para karyawannya. Aku sendiri juga kaget dengan salah satu toleransi Bos terhadap Ibu-ibu rumah tangga. Peraturan nomor dua, Jika ada keperluan mendesak menyangkut anak dan suami, ijin akan di berikan tanpa potongan gaji. Luar biasa kan? Prok prok prok.

"Pak Haidar!" Tatapan elang itu melihat ke arah Pak Haidar yang berdiri tepat di sampingku.

"Y-ya?" Ekspresi pak Haidar saat ini bisa masuk on the spot dengan judul tujuh keajaiban dunia.

"Dasi tidak di pakai, lengan kemeja yang di gulung asal dan---" Mata elang itu menilai penampilan Pak Haidar hingga ke bawah, "Sneakers di hari senin?"

Double kill!

Itu pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Ah! Ini pertama kalinya aku melihat Bos semarah ini, yang ku tau selama ini Bos tipe orang yang tegas tapi loyal kepada karyawannya. Beliau juga termasuk ke dalam golongan Hamba Allah yang bisa berubah menjadi luciver dalam situasi seperti ini.

"Karina, berikan SP satu untuk pak Haidar dan lima puluh sekian orang yang tidak hadir hari ini." Titahnya pada sang sekretaris. Semua dalam ruangan ini mendongak dengan mulut menganga.

"Siapa penanggung jawab taman kota?"
Tanyanya masih dengan tatapan elangnya, memperhatikan kami satu per satu dengan intens.

"S-saya pak." Jawab Mbak Dewi yang berdiri tidak jauh dari tempatku.

"Berapa anak lapangan di divisi kamu?"

"Hm! Tu-tujuh belas orang pak." Jawab Mbak Dewi sedikit ragu.

"Tujuh belas orang?" pertanyaan kali ini dengan suara lima oktafnya. Seketika semua yang berada di dalam ruangan ini bergindik ngeri. tidak ada yang berani membuka suara, hanya terdengar suara detak jantung dengan kecepatan dua kali lipat.

"Dengar... Pot besar yang di sediakan untuk taman Benteng Oranje, bukankah harus di tanami bunga? Yang saya lihat tadi pagi itu tanaman sere dan cabe, pohon-pohon dan tanaman hias yang ada di taman Nukila juga kelihatan lebih mirip hutan dari pada taman. anak saya aja takut saya ajak main disitu." Bos menjeda kata-katanya, matanya meneliti satu per satu karyawan yang hadir di hadapannya. "Bagaimana dengan kerusakan air mancur di Landmark? Apa saya harus turun langsung untuk mengatasi semua masalah ini? Kinerja saya dan kantor ini di pertanyakan berkat tujuh belas orang pekerja yang makan gaji buta. Pecat mereka semua!" Bentaknya yang langsung meninggalkan ruangan.

Elena's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang