BAB - 6

21.8K 871 2
                                    


"Assalamualaikum, tumben jam segini udah pada rame." Aku menghampiri meja Mbak Dewi yang tampak serius mengobrol dengan Mas Indra.

"Waalaikumsalam..." Jawab mereka bersamaan.

"Ada berita apa sih? tadi juga kayaknya si lambe turah heboh banget." tanyaku penasaran.

Fyi, orang yang ku sebut lambe turah itu namanya Mbak Desi, efek dari kurangnya belaian kasih sayang jadi suka nyinyirin hidup orang.

Mbak Dewi menatapku heran. "Lo gak lihat berita?"

"Ya elah, Mbak. Kayak gak tau Elena aja sih, dia itu kalo baca novel kan suka lupa dunia." Sahut Mas Indra.

Aku memutar bola mataku malas,
"Gak lupa dunia juga kali mas, emang berita apa sih? Lucinta luna insaf? Apa gimana?"

Mbak Dewi dan Mas Indra kompak menghembuskan napasnya kasar, mereka tau betul kebiasaanku yang sering mengabaikan apa saja jika berhubungan dengan novel baik itu dalam wujud buku atau wattpad.

"Itu loh El, pengusaha tajir melintir Dirgantara Pratama hari ini ngenalin anaknya ke publik setelah sekian lama di sembunyiin. nih El, foto anaknya..."
Ujar Mas Indra yang langsung menyodorkan ponselnya padaku.

Brak!

Ponsel Mas Indra terlepas begitu saja dari tanganku, untuk beberapa detik aku kehilangan tenaga bahkan untuk bernapas pun rasanya sulit.

"Eh! Kenapa hp gue di buang?" Teriak Mas Indra panik yang langsung mengecek kondisi ponselnya.

"E-eh! Maaf Mas, g-gue gak sengaja."

"Lo gak pa-apa El? Muka lo pucet banget. Kalo sakit pulang aja El." Tanya Mbak Dewi.

"Mending lo pulang trus istrahat deh El, muka lo udah kayak tembok." ujar Mas Indra yang masih menatapku bingung.

Aku menggelengkan kepalaku cepat. berkali-kali aku menghembuskan napasku untuk mengontrol perasaan aneh yang tiba-tiba membuatku sulit bernapas. Dari kubikel KaNit, terdengar suara seseorang yang sedang membawakan berita. "Fabiyan Pratama, hari ini secara resmi di angkat sebagai---"

"Mbak, aku ijin bentar ya?" Tanyaku ke Mbak Dewi.

"Iya El, langsung istirahat ya!"

Aku mengangguk dan langsung berlari keluar dari ruanganku, masa bodoh dengan tatapan penuh pertanyaan dari Mbak Dewi dan Mas Indra, aku hanya perlu menemui Gita secepatnya.

Gita Iriani, Psikolog muda yang ku kenal sejak jaman biru putih itu adalah sahabat sekaligus saksi hidup jungkir baliknya hubunganku dengan Fabiyan.
Saat-saat seperti ini hanya Gita yang bisa mengembalikan akal sehatku.

• • •

Drrt Drrt (Gita's calling...)

Tuh kan! Aku bilang juga apa, aku dan Gita itu udah kayak anak kembar identik.

"Hallo Git?"

"Hallo El? lo dimana? Lo udah liat berita? Lo baik-baik aja kan?"
Tanya Gita di seberang sana, suaranya terdengar panik.

"Gue di bawah nih, turun dong." jawabku setelah taxi yang ku naiki berhenti di depan Rumah sakit Darmayana, tempat Gita bekerja.

"Hah? Oke oke, tunggu disitu dan jangan kemana-mana. Gue kebawah sekarang."

Tut!

Tidak lama kemudian, pintu lift terbuka. Gita langsung berlari dan memelukku erat, runtuh sudah pertahananku. Air mata yang ku pikir telah mengering, nyatanya mengalir begitu saja. tanpa memperdulikan tatapan orang-orang, Gita menyeretku ke ruangannya.

Gita duduk di sampingku dengan segelas air. "Nih minum dulu."

Setelah melihatku lebih tenang, Gita menggeser bangkunya di depanku, menatapku prihatin. "Mau cerita?"

"Git..." Ah! Mataku mulai berkaca-kaca lagi, kenapa rasanya sesakit ini.

"Pengen denger pendapat gue sebagai sahabat lo atau sebagai seorang Psikolog?" Gita menatapku serius, jujur! Gue lebih suka Gita yang heboh ngata-ngatain pelakor dari pada Gita yang menatapku dengan ekspresi datar, seperti sekarang ini.

Aku menggeleng cepat, "Saat ini kata-kata bijak lebih baik dari pada hujatan."

Gita menghembuskan napasnya kasar, aku tau saat ini dia ingin sekali menghujatku habis-habisan. Karna itulah aku memilih sesi curhat sebagai pasiennya.

Setelah menyuruhku mengatur pernapasanku.

"Jadi, gimana perasaan lo sekarang? Udah lebih baik?"

Aku menggeleng pelan,

"Gue gak baik-baik aja, gue pikir... seharusnya gue udah baik-baik aja. kenapa gue kayak gini sih? Gak ada yang namanya pisah secara baik-baik, gak ada. Kalo bisa milih, gue mending putus karena di selingkuhin dari pada harus kayak gini." Jawabku di sela-sela tangis yang tak bisa ku tahan lagi.

Elena's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang