[nona pukul 3 pagi]

597 44 0
                                    


teruntuk nona pukul 3 pagi,
di penghujung jalan.

;

kadangkala nona, saya kerap bertanya-tanya, kenapa gemar sekali berkawan bersama tanda tanya yang menggigil kedinginan. Di penghujung jalan, antara lindapnya rupa mu serta bayannya karir yang kau himpun, kamu hanya mematung diam, lagak orang dungu. Setiap pukul tiga pagi, selalu seperti itu.

kadangkala nona, saya kerap menerka-nerka mengapa gemar sekali melucuti cemerlang yang hinggap di pundak kokohmu, seolah-olah kau tidak pernah mengenalnya dan membawanya pulang lalu kau selimuti dengan afeksi yang menggebu-gebu.

kadangkala nona, saya kerap kali melihatmu meludahi otakmu dengan penuh hina-dina. Padahal saya jelas tahu, kesuksesanmu bertahta di kepalamu yang senang mengeluarkan asap menggebu-gebu.

kadangkala nona, saya gemar melihatmu tersedu-sedan dan sesekali merutuk pada angin yang menelanjangi kalbumu. Lalu serta merta merengek-rengek laiknya mereka-mereka yang gemar mengharapkan atensimu.

kadangkala nona, saya hanya menjumpaimu yang sedang berdiri stagnan dengan deru napas yang semakin melambat di setiap sekonnya serta netra yang menerawang jauh ke bumantara. Ku simpulkan, sakau sedang menginap di helai rambutmu yang porak-poranda.

kadangkala nona, saya lupa akan kepandaian serta keelokan parasmu yang selalu digadang-gadang puluhan lensa setajam mata elang. Mustabab yang saya suai tiap pukul tiga pagi, bukanlah kamu yang seperti saya lihat di media kabar maupun di benda pipih saya yang canggih. Bahkan saya pernah mendiagnosa diri kalau saya di gerogoti halusinasi akut. Tetapi nona, kamu selalu muncul di ujung jalan tepat pukul tiga pagi. Terlampau sering.

kadangkala nona, saya ingin sekali menyapamu yang tengah karut-marut. Atas kebimbangan yang mengepul di tiap hela napasmu serta rahasia-rahasia kecil yang kau sembunyikan di balik bibirmu yang tergugu.

kadangkala nona, saya memaki diri sendiri dan membenturkan kepala saya yang dungu di tembok yang telah usang. Sebab malam tadi, pukul tiga pagi, saya tercekat melihat raga nona yang telah mencumbu mobil yang melaju terlampau cepat, menerbangkanmu ke awang-awang dan berakhir tergeletak bersamaan dengan hati saya yang tercerai-berai.

kadangkala nona, hujan mampir di kedua pipi saya, sedang tulang-tulang saya seperti mengeropos tatkala kilasan kaledioskop tragis itu datang berkunjung. Sebab saya telah gagal menafsirkan semua. Adalah dosa besar yang sukar di maafkan, tatkala saya tidaklah segesit kematian yang selalu kau di tunggu-tunggu di ujung jalan. Hanya tersengal dan diam stagnan seolah kematianmu ialah bagian dari halusinasiku yang fana.

dari tuan yang dungu,
di hadapan nisanmu.


   
  

terasing Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang