2. Cahyo

12 2 0
                                    


Orang-orang terpaku pada pemikirannya sendiri, begitu juga aku.

~Pagi yang egois -Nio-~

"Subuh, tangi, jamaah." Rantai kata khas Bapak yang kudengar setiap pagi.

"Nggeh, Pak," jawabku sambil membuka pintu kamar lalu berjalan di belakang beliau.

Tubuh Bapak tidak terlalu tinggi, mungkin sekitar 160 cm. Itu prakiraanku saja, karena saat berdiri berdampingan, Bapak setinggi telingaku. Setelah memastikan kehadiran seluruh penghuni rumah, kami sekeluarga berangkat ke masjid yang hanya berjarak 100 meter.

*

Pulang jamaah, Mamak dan Mbakyu-mbakyu menyiapkan sarapan. Kami para lelaki menyiapkan tempat dengan menggelar alas dan menata piring gelas. Makan bersama sambil lesehan adalah prinsip Bapak sejak menikah. Prinsip itu memang sejalan dengan prinsip beliau yang lain, banyak anak banyak rejeki.

Setelah sarapan -kalau tidak buru-buru- kami biasa ngobrol sambil minum kopi. Karena penghuni rumah ini berkurang dan yang masih tinggal sibuk dengan kegiatan masing-masing, Bapak hanya mewajibkan hari Ahad saja. Tapi kalau ada waktu ya dilakoni.

*

Aku anak nomor 7 dari sepuluh bersaudara. Sejak kecil kami dididik untuk mandiri dan hanya malu kepada Gusti Alloh. Sejak TK aku sudah membantu Mamak berjualan kue, bukan hanya aku, semua saudaraku juga begitu. Penghasilan Bapak sebagai ustad di pesantren memang sepertinya kurang, tapi beliau sebagai kepala keluarga tidak pernah mengeluh. Biar sedikit yang penting barokah, katanya.

Meskipun anaknya banyak dan jarak usia yang hanya 2 atau 3 tahun, Bapak dan Mamak tidak pernah lupa dan salah menyebut nama kami, karena sudah sesuai nomor urut. Dimulai dari Mbak Eka, Mas Dwi, Mbak Tri, Mbak Catur, Mas Panca, Mas Sad, aku, Dik Astha, Dik Nawa, dan terakhir Dik Dasa. Aku tidak begitu hapal nama lengkap mereka, hanya nama sendiri yang harus kuingat, Sapta Sucahyo. Mungkin seumur hidup aku akan merasa ada kertas bernomor menempel di dahi lebar ini.

*

"Pak, Mak, kulo bidhal rumiyen," kucium tangan kedua orang tuaku, lalu melayangkan salam.

Aku berangkat bersama adik-adik, karena tinggal kami yang bersekolah. Mbak Eka sudah menikah dan ikut suaminya ke Malang. Mas Dwi pegawai pabrik. Mbak Tri dan Mbak Catur membantu mengembangkan usaha kue Mamak. Mas Panca dan Mas Sad masih kuliah, sambil kerja untuk meringankan beban Bapak.

Setelah berpisah di jalan menuju sekolah masing-masing, aku mengambil buku tulis kimia, hari ini ulangan jam pertama. Aku tidak begitu mengerti mata pelajaran ini, tapi karena Pak guru begitu baik dan sabar, paling tidak aku akan berusaha sebaik mungkin.

*

Lagi asyik menghapal rumus yang kubaca tadi -buku sudah masuk tas-, kudengar suara teriakan panjang dari arah gang sebelah kiri. Seorang cewek terbang ke arahku. Dan jatuh tepat di depanku.

Kenapa nih cewek?

Dia merintih kesakitan sambil berusaha duduk. Kuperhatikan dia, sepertinya baik-baik saja. Dia memakai helm, sarung tangan serta pelindung siku dan lutut. Aku berniat mengulurkan tangan untuk mambantunya berdiri.

"Ka-"

Baru mulai buka mulut, salak nyaring anjing mengharuskanku menengok ke arah datangnya suara. Seekor anjing jenis pitbull remaja dengan mulut berdarah berlari cepat menuju tempatku berdiri.

"HA?"

Belum jelas pikiranku, tiba-tiba tanganku digandeng lalu ditarik oleh cewek itu.

"HEI?!"

Dia meluncur gesit dengan sepatu roda, sedangkan aku harus mengimbangi kecepatannya dengan sepatu yang hampir jebol agar tidak terseret. Otakku kosong, tidak bisa berpikir.

Setelah lari membabi buta entah berapa lama, akhirnya cewek itu berhenti. Mengangkat tangan bernapas lega. Napasku tersengal-sengal, rasanya paru-paru mau copot. Jantungku berirama heavy metal, pandanganku kabur, perasaanku kacau. Samar, kulihat dia mulai menatapku. Wajahnya asing.

Siapa kau?

>>Bersambung>>

CAMARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang