8. Mengenalmu

6 1 0
                                    

Tak kenal maka tak sayang.


"Logat Jawa katanya?" Terbersit rasa terhina saat Cahyo teringat ucapan Damar. Apa maksudnya bicara seperti itu? Aku memang orang desa, tapi aku bangga dengan itu. Menyebalkan.

Mengancingkan baju sambil berpikir membuatnya melakukan kesalahan. "Ah, kok begini? Huuh ... ulang lagi!" Pemuda itu menggerutu sambil membenahi keteledorannya.

Setelah urusan kancing dan lubang selesai, dia menyisir rambut ikal kebanggaannya. Entah mengapa setiap menatap cermin, sekelebat bayangan gadis yang dia anggap aneh itu muncul di hadapannya. Menghentikan pergerakan sendi-sendi.

Ada apa denganku? Pikirnya.

Cahyo mengedip beberapa kali untuk menyingkirkan senyuman Damar dari lensa matanya.

"Jaga hati dan pikiranmu Cahyo! Dia bukan siapa-siapa," perintahnya pada diri sendiri. Sisir diletakakan di atas rak buku pendek yang juga berfungsi sebagai meja rias. Dia pun menyahut tas hitam di atas kasur dan menggantungkannya di kedua bahu.

Baru selangkah keluar dari pintu kamar yang setengah terbuka, tiba-tiba ....

"Siapa 'bukan siapa-siapa'?"

HAH?! Hampir saja Cahyo melompat karena kaget.

Catur melirik penuh antusias ke arah adiknya. Perempuan itu sedang duduk lesehan, bersandar di tembok kamar sambil membungkusi kue lapis.

Dia pasti mendengar dengan jelas ocehanku tadi. Sial! Kenapa pintu kamar tadi tidak kututup saja? Cahyo panik.

"Bukan siapa-siapa, Mbak." Diraihnya tangan sang kakak lalu menciumnya. "Berangkat dulu Mbak. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam." Netra perempuan itu mengikuti langkah canggung si adik sambil tersenyum geli.

Cahyo segera melesat. Mengambil langkah lebar dan cepat, agar lekas menghilang dari jangkauan mata Catur.

Kakak beradik itu ditugasi untuk menjaga rumah. Hampir dua pekan keluarga Cahyo secara bergantian menginap di pesantren untuk ikut membantu kesibukan di sana. Rangkaian acara sudah dimulai lima hari yang lalu dan berakhir lusa, Minggu. Hari ini, Jumat, adalah puncak acara. Oleh karena itu, banyak anggota keluarga Cahyo yang ikut membantu.

Dua rumah telah terlewati. Cahyo menurunkan kecepatan. Dia mulai berjalan setengah santai agar tidak keluar keringat berlebih. Dia tidak suka merasakan lengket di tubuhnya pada pagi hari. Dia merasa harus menjaga aroma wangi seragam pramuka yang baru dipakai.

Untung saja di rumah cuma ada aku dan Mbak. Sebaiknya aku harus biasakan bicara dalam hati mulai sekarang, terutama di rumah. Bisiknya dalam hati.

Kalau dipikir-pikir, semenjak diancam oleh kakaknya Damar, pikiranku jadi sedikit kacau. Biasanya aku bisa berpikir lurus dan fokus menghadapi segala situasi dan kondisi. Namun, kini aku lebih sering tenggelam dalam pemikiran yang tidak jelas.

Kedatangan gadis itu juga merusak ritme kehidupanku. Apa karena aku tidak pernah sedekat ini dengan seorang perempuan? Atau karena dia tidak seperti perempuan pada umumnya?

Langkah kaki Cahyo akhirnya mengantarnya hingga ke pertigaan tempatnya bertemu Damar pertama kali.

Hah! Lihatlah! Yang dipikirkan muncul. Batin Cahyo.

Damar menunggu --lagi. Berdiri bersandar di tiang listrik.

Apa setiap hari harus begini? Apa sebaiknya aku menginap di pesantren lagi, ya? Biar nggak perlu sering-sering ketemu cewek satu ini.

"Woi!" Sapa Damar ceria.

"Hm," jawab Cahyo singkat.

Dia menghampiri dan mulai meluncur pelan di samping kiri Cahyo. Tampaknya, pemuda itu berusaha menahan diri untuk tidak memandang atau meliriknya.

"Setelah lulus nanti kau mau apa?"

"Masih lama," jawab Cahyo.

"Aku mau kuliah," ujar Damar.

Siapa yang nanya! Sindir Cahyo dalam hati.

"Aku ingin jadi dosen Bahasa Jawa," lanjut gadis itu sambil tersenyum. Pandangannya menerawang ke masa depan yang dia tuju. "Cahyo, kau mau mengajariku logat Jawa?"

Dia mengalihkan tatapannya. Memandang penuh harap pada pemuda di hadapannya. Seseorang yang bisa ia jadikan tangga menuju cita-citanya.

Cahyo harus menghentikan langkah kaki, karena Damar berhenti tepat di depannya. "Apa nggak ada yang lain? Kau kan orang kaya, seharusnya mudah mencari guru les khusus," saran Cahyo.

"Aah, itu ... aku ingin yang gratis. Beban biaya yang ditanggung Mamasku sudah sangat banyak. Kasihan mereka." Wajah Damar yang semula cerah ceria berangsur mendung bimbang.

"Kan ada orang tuamu," celetuk Cahyo.

Perlahan Damar mundur dan berbalik membelakangi Cahyo. Pemuda itu kembali berjalan dan telah melewati gadis yang sedang terdiam.

"Bapak Ibuku sudah meninggal."

DEG

Sontak Cahyo berhenti dan berbalik. "Ma- maaf, aku tidak tahu." Ia menekan tengkuknya yang tiba-tiba terasa ngilu.

Damar mengangkat dagu dan tersenyum. "Nggak pa-pa. Sudah lama juga kok."

Sisa perjalanan ke sekolah seketika terasa canggung bagi Cahyo. Netranya lekat memandang gadis yang sebenarnya ingin ia jauhi. Rasa bersalah menyelimuti hatinya.

Bagi Cahyo, kini jelas sudah mengapa gadis ituberbeda dan tidak umum. Alasan mengapa ia diancam oleh kakaknya kini jadi masukakal. Seakan pelita yang telah dinyalakan dalam otaknya telah mengusirkegelapan prasangka yang selama ini ia sematkan pada sosok gadis tomboi itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CAMARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang