6. Kehilangan

18 2 0
                                    

Suatu hal terasa berharga jika pernah hilang.

~Pagi yang cerah -Nio-~

Genap sepekan Damar tidak melihat sosok Cahyo. Pemuda itu bak hilang ditelan bumi. Terakhir mereka bertemu sepulang ekskul wajib Pramuka.

Tiga hari pertama, Damar mengira dia sakit. Dua hari kemudian, saat iseng tanya teman sekelasnya, ternyata tidak. Cahyo hadir, sehat wal afiat, bahkan kelihatan bersemangat.

Banyak sprkulasi muncul di kepala Damar. Salah satunya, apa dia pernah —tanpa disadari— telah menyinggung perasaan teman barunya itu? Jikalau iya, dia merasa harus segera minta maaf.

Sepulang sekolah, Damar berinisiatif untuk menunggu di halte bus dekat sekolah. Dari sana, ia bisa memantau dengan jelas gerbang sekolah. Namun hingga bus tiba, Cahyo belum juga terdeteksi. Gadis itu pun menyerah di usaha pertamanya. Mungkin besok bisa bertemu.

Sialnya, empat hari berlalu tanpa hasil.  Bahkan di sekolah pun, Cahyo seolah berkamuflase di antara ribuan siswa. Damar sempat memberanikan diri mencari di ruang X-2, kelas Cahyo, tapi pemuda itu sedang keluar. Sempat terpikir mencari keliling dan bertanya-tanya ke sana kemari, tapi rasanya terlalu berlebihan pikir gadis itu.

Akhirnya, Damar mengganti mode aktif menjadi pasif. Dia akan menunggu sampai takdir —mungkin— mempertemukannya dengan Cahyo. Tanpa pusing memikirkan trik lain, gadis itu kembali pada rutinitasnya di sekolah.

***

Jam istirahat kedua berdentang, saatnya isi perut di kantin. Perut sudah berdendang keroncong, tak bisa ditunda lagi. Tempat makan itu sudah penuh sesak saat Damar tiba. Dijejali kerumunan siswa kelaparan. Tempat duduk pun sudah penuh.

Bungkus aja deh! Makan di taman. Batin Damar.

Sebungkus nasi pecel dan teh hangat telah di tangan setelah penantian panjang. Ditemani dua teman siswi, Damar makan siang santai sambil menikmati keindahan bunga kertas, mawar, dan bougenfil penghias area hijau itu.

Taman sekolah cukup luas. Bangku panjang berbahan kayu ada di bagian tepi taman berbentuk persegi panjang itu. Ada pula yang bermeja, letaknya di tengah taman. Dari sekian banyak tempat duduk, Damar dan kedua temannya duduk lesehan di atas selembar koran. Bukan karena ingin, tapi tidak kebagian.

Selesai menyantap makan siang, Damar meregangkan tubuhnya ke belakang. Tangannya yang panjang diayunkan sejajar ke atas.

PLAK

Damar terkesiap. Dia merasa punggung tangannya mengenai seseorang dengan keras. Sontak saja, dia segera berdiri dan menoleh ke belakang.

"Maaf! ... Cahyo?!"

Netra mereka bertemu. Cahyo berpaling dan pergi berlalu. Damar pun segera mengikuti langkah lebar pemuda itu. Meninggalkan kedua temannya dalam kebingungan.

"Tunggu sebentar! Aku mau bicara!" Tangan gadis itu meremas dan menarik bahu si pemuda dengan kuat lalu menghempaskannya ke dinding. Meski tubuh mereka saling berhadapan, wajah Cahyo mengarah ke sisi lain.

"Melihatmu seperti ini, pasti aku udah ngelakuin sesuatu yang salah. Iya kan?"

Beberapa kali Cahyo berusaha lepas dari genggaman tangan Damar tanpa harus menyentuhnya. Namun, otot jari itu bergeming. Bahunya seakan ditekan mesin pres.

"Yo! Jawab!" Damar menatap lekat manik hitam pekat si pemuda. "Aku salah apa? Aku minta maaf."

"Kamu nggak salah. Aku yang salah," tegas Cahyo. "Lepas!"

Damar melonggarkan cengkraman. "Salah apa?"

Cahyo menatap Damar tajam. "Aku salah sudah menganggapmu teman."

Damar terjebak dalam perasaan senang dan sedih. Senang karena dianggap teman dan sedih karena 'salah'.

"Kenapa salah?"

"Karena nggak ada yang namanya 'teman' antara laki-laki dan perempuan."

"Tunggu! Sepertinya aku pernah dengar kalimat ini. De javu?"

Gadis bongsor itu mencoba mengulik ingatannya. Ada secuil rasa familiar mendengar pernyataan tersebut.

Cahyo enggan menunggu ingatan gadis itu kembali. Dia segera mengambil langkah lebar siap kabur.

"Huek!" Pekik Cahyo.

Lehernya tercekik. Kerah bajunya ditarik oleh Damar. Hampir-hampir terjungkal tubuhnya ke belakang jika kakinya tidak segera menyangga.

"Kubilang 'tunggu' ya tunggu, dong!" Protes Damar. "Aku hampir ingat nih."

Kedua alis gadis itu naik, kabel ingatannya sudah tersambung. Ia merogoh saku roknya dan mengambil ponsel. Menyalakannya. Lantas jari telunjuk panjang nan ramping seolah menari-nari di atas layar.

"Apa kau bertemu orang ini? Atau ... yang ini? ... Atau ini?" Tiga foto berbeda diperlihatkan Damar pada Cahyo.

>> Bersambung >>

CAMARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang