Senja tak pernah biasa saja

1K 36 3
                                    

Tinnn tinnnn tinnnn

Bunyi klakson kendaraan di jalanan Ibu Kota menjelang sore, sudah menjadi irama yang rutin terdengar oleh telinga para pengendara. Tidak terkecuali Nara yang tengah duduk di dalam taksi online sambil merapihkan riasan wajahnya yang nampak mulai luntur. Macet dan bisingnya lalu lintas adalah hal biasa bagi warga Jakarta. Apalagi ketika jamnya orang berangkat dan pulang kerja, seperti saat ini, orang-orang berlomba untuk sampai rumah secepatnya, tapi jalanan terlalu sempit untuk mereka yang maunya balapan, alhasil macet tak dapat terhindarkan. Nara yang sibuk dengan pensil alisnya, justru memanfaatkan kondisi lalu lintas ini untuk menyelesaikan riasannya.

"Neng, dari tadi hengponnya bunyi napa kaga diangkat si? Berisik bangat dah yak"

Nara yang sedang teramat fokus dengan lengkungan alisnya, terkesiap oleh suara bapak pengendara taksi online yang ditumpanginya.

"Eh iya, ya ampun, maaf pak, maaf banget. Saya enggak sadar kalau handphone saya bunyi terus pak"

Sembari memohon maaf ke bapak pengendara, Nara menerima panggilan yang sedari tadi ia abaikan.

"iya, aku sebentar lagi nyampe kok, kamu kayak enggak tahu—eh?"

Nara mendadak berhenti bicara saat tersadar lawan bicaranya bukanlah orang yang dimaksud pikirannya.

"Eh kamu, aku kira siapa, maaf ya "

Nada bicaranya mendadak kikuk, ia hapal betul siapa yang ada dibalik panggilan telponnya saat ini, bahkan sebelum ia melihat nama kontak yang tertera.

"kabarku baik kok, kamu gimana? Udah lama banget enggak berkabar, ada apa nih?"

Nara mendengarkan baik-baik penuturan lawan bicaranya di telpon. Ia tidak bisa sedikitpun menyembunyikan perasaannya, ekspresi wajahnya terlalu jelas untuk dijabarkan. Sejenak matanya menilik langit jingga dibalik kaca mobil yang sedang indah-indahnya. Setengah melamun, namun mencoba tetap mendengarkan. Memori Nara terlalu kuat untuk tidak lolos menyerbu pikirannya.

"wah, nikah ya, selamat"

***

Waktu menunjukan pukul empat lewat lima belas menit, sore hari, di kedai kopi langganannya yang baru saja buka lima menit yang lalu. Sore ini sepulang sekolah, ia pulang lebih dulu daripada teman-temannya yang masih asyik bergurau di kantin sekolah, lalu bergegas menuju kedai kopi tersebut, tidak peduli bagaimana lelahnya ia saat ini. Bukan tanpa alasan Nara begitu terburu-buru, ia tidak ingin melewatkan kesempatannya sore ini. Bertemu dengan laki-laki yang belakangan ini menyita perhatiannya.

"Hai Ra! Maaf ya kamu pasti nunggu lama"

Suara tenor seorang laki - laki mengalihkan pandangan Nara dari layar handphone di tangannya. Ia terpana dalam hitungan detik dengan seseorang yang kini sudah duduk di hadapannya.

"Ra? Jangan bengong"

"Eh iya Di, gak bengong kok. Aku belum lama nyampe, santai aja"

Nyatanya, Nara sudah menunggu hampir tiga puluh menit lamanya di kedai kopi, tanpa memesan apapun, hanya terus mengawasi layar handphonenya, alih-alih ada pesan singkat dari laki-laki yang ditunggunya.

"Sorry ya Ra, barusan aku harus nungguin tugas anak sekelas selesai, jadi lama deh. Kamu mau pesan apa Ra? Sebagai permintaan maaf, kamu boleh pesan apa aja, aku yang traktir, oke?"

"bawel kamu, aku nggak kenapa-kenapa tau!"

Nara tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Ia sangat senang dengan kehadiran laki-laki di depannya, yang suaranya saja sudah mampu mengalihkan dunianya, apalagi senyumnya.
Faldi, laki-laki yang sejak tadi Nara tunggu. Bertubuh tinggi dengan wajah yang sering menjadi pembicaraan perempuan, ditambah lagi, dia adalah seorang ketua OSIS di sekolahnya.
Siapa yang tidak menyukainya? Pikir Nara.

Nara LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang