Katanya, aku harus bahagia

444 21 6
                                    

Enam belas bulan yang lalu, aku mengenalnya dari perantara, sahabatku di SMA, Cici namanya. Aku mendengar banyak cerita tentangnya dari Cici. Wajar saja memang, mereka satu sekolah semasa SMP. Dia adalah kakak kelas Cici, yang katanya, jadi idola perempuan di sekolahnya dulu. Selain karena wajahnya yang tampan, dia juga baik dan ramah pada tiap orang. Dia berbakat dalam olahraga, juga hobi ngeband sama teman seangkatannya. Kalau kata Cici, tiap dia lewat koridor sekolah, rasanya kayak lihat pangeran berkuda putih jalan di red carpet hollywood.
Awalnya, aku tidak percaya dengan cerita-cerita Cici, yang menurutku banyak dilebih-lebihkan. Tapi, itu pemikiranku sebelum aku mengenalnya secara langsung.
.
.
.
"Woi! Ngelamun aja kerjaan lo" Seru Cici seraya menggebrak meja, berusaha mengejutkan Nara yang sedak asyik dalam lamunannya.

"ih apa sih lo Ci, astagaaaa"

"sorry! Haha. Ngelamunin siapa sih lo? Faldi ya? Cieee, kan gue bilang apa, dia tuh gak ada duanya!"

Nara hanya tersenyum malu mendengar sahabatnya terus menggodanya.

"by the way, sore ini lo jadi ketemuan?" Tanya Cici, penasaran.

"jadi dong! doain ya, haha"

"asik! Good luck beib"

Empat bulan yang lalu, Cici  mengenalkan seorang teman laki-lakinya kepada Nara. Tentu bukan kemauannya, tetapi sudah lebih dulu teman laki-lakinya ingin mengenal Nara lebih dekat.

"namanya Faldi, Ra"

Dengan susah payah membujuk Nara dengan cerita-cerita tentang Faldi yang telah ia rangkai kalimatnya, demi membuat sahabatnya itu tertarik. Akhirnya, sekali waktu, Nara mau menuruti permohonannya untuk bertemu dengan Faldi.
Kamis sore, sepulangnya dari sekolah, mereka pun bertemu sesuai rencana yang sudah dibicarakan sebelumnya.
Berbeda dengan Cici yang nampak sangat bersemangat, Nara justru biasa saja, malah cenderung malas, karena sudah terlalu lelah di sekolah.
Mereka bertiga bertemu di kafe makanan siap saji yang jaraknya tidak jauh dari sekolah.
Saat membuka pintu kafe, Cici menyapa seorang laki-laki yang mengenakan seragam batik dari salah satu SMA terfavorit di Jakarta, yang duduk di bangku ketiga sebelah barat dari pintu masuk.

"hai, kak !" Seru Cici, langsung di balas lambaian tangan dari seseorang yang ia sapa.

"Apa kabar kamu Ci?" Sapa laki-laki yang kini sedang memerhatikan Nara yang nampak canggung.

"baik dong kak. Oh iya, ini Nara"

Nara hanya tersenyum paksa, sambil meraih kursi, lalu mengambil posisi duduk agar tidak tampak terlalu canggung.

" Nara, saya belum mengenal kamu, tapi untung aja ada Cici, jadi saya lumayan tau kamu cukup banyak, hehe"

Nara kembali tersenyum paksa, kali ini sedikit melirik dan memerhatikan wajah laki-laki di depannya.

"emm gitu ya, hehe. Bisa enggak kita langsung pesen aja?"

"oh boleh-boleh, kalian mau pesen apa? Biar saya yang pesenin" Sahut Faldi antusias.

"lo kayak biasa kan Ra?" tanya Cici.

Nara mengiyakan pertanyaan Cici.

"udah kak, biar aku yang pesen. Kak Faldi di sini aja sama Nara, oke?"

Faldi paham dengan maksud Cici yang sengaja ingin membiarkan ia dan Nara berbincang berdua, agar mengenal lebih dekat.

"emm, kalau gitu, saya yang traktir!" Seru Faldi, mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan, kemudian ia berikan pada Cici yang hendak memesan.

"asik! Makasih kak!" Cici kegirangan.

"ya ampun kak, harusnya gak usah. Nanti biar aku sama Cici ganti ya" Kata Nara. Ia merasa begitu sungkan dan agak malu melihat sahabatnya langsung begitu semangat menuju meja order.

Nara LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang