Saling menemukan

231 14 4
                                    

Sejak pertama kali seseorang menceritakan tentangnya padaku, ada sesuatu darinya yang menarikku. Dan sejak pertama kali, mata kami bertemu, aku langsung tahu apa yang telah menarikku.
Kalau disebut love of first sight , aku tidak bisa menyangkalnya. Karena, sepertinya memang iya.
Mulai dari saat itu, aku jadi selalu ingin melihat wajahnya, senyumnya, suara tawanya, pipinya yang merah kalau sedang merasa malu atau gugup, bahkan wajah kesalnya yang membuat gemas sekaligus menakutkan. Mungkin perasaan itu, yang disebut rindu.
Apalagi saat pertama kali mengantarnya pulang ke rumah. Aku suka mendengarnya bercerita di atas motorku. Suaranya merdu, biarpun hembusan angin dan knalpot kendaraan kadang mengalahkan volume suaranya, tetap saja, aku selalu ingin mendengar celotehannya terus - menerus.
Hal-hal menyenangkan rasanya selalu saja meliputi kami, atau hanya aku yang merasa terlalu senang? Ah, tapi sepertinya tidak. Aku ingat betul saat pertama kali mengajaknya ke bioskop, di tengah film, aku hampir saja mengecup pipinya yang kala itu semerah tomat, matanya memejam, mungkin takut terkejut kalau sampai ada yang tiba-tiba mendarat di wajahnya. Haha. Tapi, aku mengurungkan niatku. Terlalu cepat. Aku takut menyakitinya. Walaupun, keinginan membuatnya bahagia, lebih besar daripada ketakutan itu.
Tak disangka, saat itu malah jadi pengalaman lucu. Wajahnya jauh lebih menggemaskan ketika salah tingkah. Ah, aku jadi malu dan merasa bersalah.
Seusai menonton film, dia keluar bioskop dengan wajah yang cemberut. Kalau ditanya kenapa, malah diam saja, lalu mempercepat laju langkahnya.

"yuk makan, gak mau nolak dong kalau double cheese burger ?"

Dia menghentikan langkahnya. Lalu, aku bilang lagi,
"emm, ekstra keju? Minumnya es kopi latte? Ekstra sugar?"

Kemudian, dia berbalik dan menghampiriku dengan malu-malu. Ah, lucunya anak itu.

Ia perempuan yang agak lugu dan kekanakan, tapi terkadang sifatnya bisa berubah berpemikiran dewasa dan matang sesuai situasi. Perempuan yang sangat ceria, yang ketika dia sampai marah, aku akan amat sangat merasa bersalah.
Pernah, suatu hari, kami sedang menuju sekolah. Entah ada angin apa, aku tiba-tiba bicara,

"Ra, kalau boleh jujur, saya ngerasa nyaman sama kamu. Saya suka tiap kali liat kamu senyum karena saya"

Beberapa detik setelah aku bicara, perempuan yang duduk di belakangku tidak menanggapi sama sekali. Aku mulai heran. Aku mengatur kaca spion kiriku ke arah wajahnya. Ternyata dia melamun lagi.

"Ra"

"kenapa kak?"

Dia memang kadang seperti itu, melamun kalau suasana sekitarnya tidak begitu ramai. Entah apa yang dipikirkannya.
Dia agak terkejut karena aku memanggil namanya, dia mendekatkan kepalanya, dekat dengan pundakku, maksudnya pasti supaya lebih jelas mendengar suaraku. Tapi, dia malah membuatku tambah gugup.

"kebiasaan deh, diem dikit malah ngelamun"

"aku juga enggak ngerti kenapa gampang ngelamun, hehe"

"jangan banyak ngelamun, Ra, gak cocok. Kamu itu cocoknya banyak bahagia"

Dari kaca spion, aku melihat wajahnya tersipu.

"aku bantu buat ngilangin kebiasaan itu, boleh?" kataku lagi.

"hah? A-aku? Apa kak? Gimana?"

Kali ini, dia agak kaget karena perubahan cara bicaraku. Aku yakin, dia mulai paham maksud pembicaraanku.

Aku mengulangi pertanyaanku dengan lebih jelas.
"Aku bantu hilangkan kebiasaanmu itu ya, Ra?"

"T-tapi caranya kak?"

Dia masih menyebutku 'kak'. Ah, anak ini benar-benar harus aku perjelas. Mau sampai kapan dia panggil aku begitu.

"emm, kamu gak perlu tau sih. Cukup terima aja, oke?"

Nara LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang