Seoul Hospital
April, 2020"Putri Cantik, coba buka mulutnya sebentar, say aaa."
"Aaaa."
"Good girl, thank you."
"Sama-sama, Dokter tampan. Amandelku sudah sembuh?" tanya gadis 10 tahun yang baru saja selesai melakukan check up pasca operasinya minggu lalu.
"Sudah lebih baik tapi kondisimu masih dalam masa pemulihan. Jangan makan es atau pedas dulu ya, supaya proses penyembuhannya cepat."
"Oke, kalau Dokter Kim yang minta sih aku tidak keberatan."
Pria berkacamata itu tersenyum simpul dan mengelus puncak kepala pasiennya. Orang tua sang gadis datang sambil menuntun anaknya untuk turun dari bangsal pemeriksaan.
"Kecil-kecil sudah genit, nanti pacar Pak Dokter marah loh," tegur ibu sang anak ditanggapi bijaksana oleh Kim Bum.
Guyonan keramat itu terlampau sering ia dengar dari para pasiennya. Tidak ada yang istimewa apalagi aneh. Dia juga tidak pernah mengambil hati candaan para orang tua dari pasiennya. Hampir setiap hari ada orang tua yang terang-terangan meminang Kim Bum untuk menjadi menantu mereka. Dari yang hanya sekadar basa-basi, sampai yang benar-benar serius mengenalkan Kim Bum pada putri mereka pun ada.
Pria itu bukan malaikat, ada kalanya kegilaan semacam itu membuatnya jengah dan malas untuk datang ke rumah sakit. Tapi sekali lagi, dia menganggap fenomena itu sebagai bagian dari risiko pekerjaannya. Menjadi dokter spesialis anak memang tidak mudah, tapi Kim Bum sangat menikmati profesinya ini.
"Dokter Kim sudah punya pacar?"
"Kalau sudah kenapa kalau belum kenapa?"
"Kalau sudah aku mau bertemu dengan perempuan itu, terus mengatakan padanya kalau Dokter Kim itu calon suamiku di masa depan. Kalau belum ya bagus, berarti aku tidak punya saingan."
Usia 28 tahun membuat level pesona seorang Kim Sang Bum ada di puncak. Karismanya mampu menembus hati bocah-bocah yang bahkan belum mengerti arti dari calon suami yang disebutkannya. Lucu memang, digoda anak kecil seperti ini membuat Kim Bum semakin betah berinteraksi dengan mereka. Bukan karena pria itu genit dan senang dipuja-puji oleh anak-anak. Pria itu hanya ingin mengukur daya imajinasi anak-anak itu melalui gaya bicara, pemikiran, dan juga cara mereka berinteraksi dengan orang dewasa. Hal sederhana yang sangat menyenangkan apabila diteliti.
"Setahuku belahan jiwa seorang putri cantik itu adalah pangeran kerajaan, bukan seorang dokter."
"Tapi kan Dokter Kim seperti pangeran."
"Hm, di luar sana masih banyak pangeran yang lebih baik dariku. Nanti Hena tinggal belajar saja yang rajin di sekolah, patuhi perintah ayah dan ibumu, pasti pangeran itu akan datang dan hidup bersama Hena selamanya."
"Wah, benarkah?"
"Mm-hm."
"Dokter memang sangat pandai bicara."
"Selain itu aku juga pandai merayu."
"Ish ish, aku benci Dokter penggoda. Ayo ibu kita pulang," canda anak itu seolah-olah marah pada Kim Bum padahal tidak.
"Terima kasih Dokter Kim, kalau ada apa-apa dengan Hena aku akan langsung menghubungimu lagi."
"Baik Nyonya, dengan senang hati saya akan merawat Hena. Jangan lupa beri obatnya secara teratur saja."
"Aku akan mengingatnya, kalau begitu kami permisi dulu. Selamat siang."
"Dahh Dokter Kim."
Kim Bum melambaikan tangan pada pasien terakhirnya sebelum istirahat makan siang. Pria itu melepas jas putihnya lalu ia gantung pada hanger dan diletakan di tempat khusus dekat meja kerjanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Go (TAMAT)
Teen FictionKisah sahabat jadi cinta, klise tapi tetap istimewa.