Seperti senja waktu itu, namun bedanya kali ini siang hari dan gue sama-sama melihat Alya yang wajahnya tertimpa sinar matahari dan, berkilauan karena basahnya air mata.
Masih terlihat pucat disana, namun bukan itu yang gue perhatikan. Alya terlihat sangat sakit. Bukan sakit karena penyakit atau semacamnya tapi ini sakit yang, pedih, atau.. Menderita suatu kesedihan yang amat dalam.
Salahkan gue dan ini memang sebuah kesalahan fatal yang ditimbulkan dari sifat gue yang tidak pernah berani menghampiri Alya. Seseorang dari salah satu dari dua jalan setapak lain menghampirinya.
Dira. Senior setahun di atas gue dan Alya. Alumni yang bandnya di undang untuk tampil di acara nanti. Untuk apa dia berkeliaran sendiri ke taman ketika semua orang sibuk gladi bersih? Dan, seketika gue mengingat sesuatu. Jantung gue berdetak lebih keras sekali sebelum normal kembali.
Dira pernah mendekati Alya, waktu kami masih sekelas di kelas satu dulu. Dira sebenarnya cukup akrab dengan gue dan dia, eh, dia pernah meminta bantuan gue untuk menjodohkannya dengan Alya. Walaupun akhirnya tidak jelas.
Gue masih bisa mengamati serta mendengar suara mereka berhubung tempat ini sepi dan gue berada dalam jarak pendengaran yang aman.
Dira terlihat perlahan mendekati Alya, tampangnya panik sekaligus gugup.
"Al.. Alya.. Kamu kenapa, Al?" Dira duduk disamping Alya. Jantung gue sekali berdegup kencang lagi tepat ketika dia menyentuh bangku itu. Alya nampak terkejut, tapi yang membuat gue sangat salut adalah karena dia langsung bisa mengendalikan dirinya yang tadi sangat kacau. Alya menegakkan duduknya, menghapus air mata dengan sekali usapan ke wajahnya, lalu nyengir. Alya... Astaga, gue tidak berhenti menyebut namanya dalam hati. Apa yang membuatnya kacau akhir-akhir ini?
"Eh, kak Dira," dia mengusap pipinya sekali lagi. "Gladi bersih. Ya kan?"
Dira mengangguk sekilas sebelum dia menjawab, "Alya kamu pucat. Kamu kenapa sebenernya? Apa... Siapa yang bikin kamu gini?" Tampang Dira sangat menyedihkan. Dia seperti larut dalam emosi kesedihan Alya. Gue pun begitu sebenarnya.
"Eh, nothing is happened, kak." Kali ini Alya ketara sekali memaksakan senyumnya, karena punggungnya bergetar lagi menahan tangis.
"Liar..." bisikan Dira terdengar jelas ketika dia tiba-tiba memeluk Alya.
Tubuh Alya nampak menegang dan wajahnya kaget luar biasa. Namun mungkin dia berpikir sudah saatnya dia melepas bebannya itu, karenanya dia membalas pelukan Dira dan menangis sepuasnya.
Selusin petinju menghantam dada gue. Kaki gue melemas seperti tidak bisa menopang badan lagi sehingga gue meraba-raba pohon di samping dan berpegangan pada batangnya. Dada gue bergemuruh naik turun karena nafas yang tidak karuan. Gue sempat berpikir bahwa gue sedang kerasukan penunggu taman sekolah ini.
Sekali lagi, salahkan gue dan kebodohan gue. Entah malaikat mana yang menyuruh gue untuk tidak mengganggu mereka, jadi gue mundur untuk kembali ke bagian depan sekolah.
"Kevin!" seseorang dari kantin berteriak memanggil gue, Riana.
Gue terus berjalan, gontai seperti zombie. Tapi gue berusaha mengangkat satu tangan gue, semoga Riana mengerti kalau itu tanda gue yang tidak mau di ganggu.
Sampai di depan, di koridor kelas lantai dua gue berpapasan dengan Anne. Ekspresinya saat melihat gue, seperti terkejut melihat orang sekarat yang berjalan. Gue terus, tidak peduli, masuk ke kelas dan mengambil tas. Gue mau kabur dari sekolah, memanfaatkan kesibukan semua orang sekarang ini.
Dengan menyandang tas pada satu bahu, gue pun keluar kelas. Koridor ramai, gue berbelok dan terhalang oleh Anne yang berdiri di menghadap gue menghalangi jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kevin's story: I'M A FOOL (and I love her) COMPLETE
Teen FictionSelasa, 22 Maret 2011 Gue Kevin, dan kalian berada di tahap awal kisah gue yang masih jelas gue hafal kapan dan bagaimana kisah demi kisah ini gue alami. Kisah yang gue tulis pada hari terakhir gue dirawat di rumah sakit, di atas ranjang salah satu...