Part 1

788 31 4
                                    

Kevin's Story:
I'M A FOOL (and I love her)

Minggu, 2 Januari 2011

Sore itu berangin. Gue berdiri di teras rumah Riana, teman sekelas gue. Kami habis belajar kelompok bersama teman-teman yang lain dan gue pulang terakhir. Helm sudah di genggaman gue.

"Balik ya, Ri," ujar gue.

Riana bangkit dari kursinya lalu mengangguk, "Trims, Kev," dia tersenyum dan berdiri berhadapan dengan gue. Badannya menunjukkan pergerakan mendekat, Riana lalu sedikit berjingkat sehingga wajahnya berada persis didepan wajah gue.

Perasaan gue benar-benar tidak enak, gue paham gerakannya ini. Dia bermaksud ingin mencium gue. Oh tidak, gue ingin menghindar tetapi tangan Riana menahan lengan gue.

Hampir satu sentimeter lagi jarak wajah kami dan gue terselamatkan oleh,

"HATCHI!!!"

Suara bersin kencang mengagetkan gue, dan syukurnya Riana juga--oh ternyata itu bukan bersinnya. Dia langsung beringsut mundur menjauh dari gue. Kami lalu refleks menoleh ke luar pagar yang terbuka lebar, ke asal suara bersin penyelamat gue itu. Dan seketika darah gue berdesir.

Alya berdiri mematung di jalan kompleks yang sepi itu. Tepat mengarah ke kami. Matanya sedikit terbelalak dan satu tangannya memegangi hidungnya yang memerah.

Entah atas dasar naluri apa gue langsung menaruh kembali helm gue di atas meja teras Riana. Dan berjalan keluar pagar menghampiri Alya yang belum bergerak dari tempatnya semilimeter pun. Alya memakai baju hangat dan penutup kepala rajutan diatas rambut bergelombangnya yang di gerai sebahu, sangat manis.

"Lo ngapain ada disini?" dari sekian banyak pertanyaan yang muncul di otak gue, pertanyaan itu yang terpilih dan gue menyesalinya.

"Eh-itu rumah gue," jawab Alya polos, dia menunjuk tepat dua rumah setelah rumah Riana. "Baru pindah," sambungnya.

"Oh," alis gue terangkat. Agak malu juga sebenarnya.

"Hatchi!" Alya bersin lagi membuat pipinya memerah.

Secara refleks gue mengangkat tangan dan meletakkan telapaknya di atas kening Alya, dan merasakan hangat disana. Alya demam.

"Lo sakit, Al. Gue anter ke dokter ya?" nada gue terdengar cemas sekarang.

Alya seperti tersadar dari lamunannya, sedari tadi dia menatap gue tanpa kedip dan mulutnya sedikit terbuka. Ekspresinya lucu, gue ingin tertawa sebenarnya. Oh, darah gue berdesir lagi.

Dia mundur selangkah.

"Hah? Eng, ngga usah, Kev. Ini emang gue mau ke dokter di deket sini kok, ehm lagian..." ekspresinya berubah jahil sekarang, "lo lanjutin yang tadi aja," sambungnya sambil nyengir.

Sambil begitu dia lalu melihat ke arah belakang punggung gue dan melambai pada Riana yang masih di terasnya. Gue menoleh sedikit dan mendapati Riana balas melambai, namun ekspresinya memaksa antara kesal dan malu.

Gue paham kata-kata Alya barusan, dan hei, ternyata membuat gue menjadi agak kesal.

"Bukan, itu lo salah paham..."

Alya tertawa pelan, "Ah..." dia merapatkan penutup kepala rajutannya, "ngga usah malu kalo sama gue," ujarnya. Dia terbatuk pelan sebelum berkata, "Duluan ya, Kev," dengan suara agak serak dan menepuk pelan lengan gue lalu mulai berjalan.

Gue terpaku sejenak sebelum memutuskan untuk kembali ke teras rumah Riana, namun berhenti tepat di depan pagar dan sekali lagi menoleh menatap punggung Alya yang menjauh. Alya menoleh kebelakang, ada yang berkilauan terkena sinar matahari senja di pipinya. Itu air mata, dan butuh beberapa detik bagi gue buat sadar kalau dia menangis.

Mata gue membesar dengan nafas tercekat. Alya terlihat buru-buru kembali menghadap depan dan mempercepat jalannya lalu berbelok di tikungan.

Untuk yang kesekian kalinya, darah gue berdesir. Namun kali ini ditemani oleh detak jantung yang bergemuruh tidak karuan.

***

Part 1, done! Vote & comment supaya saya bisa tau antusiasme kalian dan jadi semangat nerusin cerita ini.

Thankies.

-AA

Kevin's story: I'M A FOOL (and I love her) COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang