Part 6

212 16 1
                                    

Senin, 21 Maret 2011

Bodoh ya? Karena sibuk memikirkan perasaan yang baru gue ketahui itu, gue jadi tidak melihat ada mobil sedan yang melintas. Dan, kalian pasti tau lanjutannya.

Ya, lalu gue sudah berada di ruangan VIP 307 sebuah Rumah Sakit yang tidak jauh dari sekolah gue. Ruangan yang sama dengan saat ini, detik ini, dimana gue menulis cerita yang penting-tidak penting untuk kalian baca ini.

Waktu itu, ternyata gue tidak sadar sampai keesokan harinya, yang mana berarti terhitung tujuh hari yang lalu. Gue membuka mata, langsung tertuju pada kaki kiri gue yang di-gips. Mati rasa ketika gue gerakkan.

"Kevin! Syukurlah kamu udah sadar, nak..." Mama yang tadinya sedang berbicara dengan suster tergopoh menghampiri gue, diikuti oleh suster tadi. Gue hanya nyengir lemah, dan tidak berkomentar apa-apa ketika suster mulai memeriksa keadaan gue lagi.

"Ada perkembangan yang baik ini sama dek Kevin, nanti sore saya kesini lagi sama Dokternya ya," ujar si suster.

Gue mengangguk pelan, dan Mama mengucap syukur berulang kali lalu berterima kasih pada suster sambil mengantar sampai pintu kamar itu. Ketika Mama menghampiri gue lagi, gue bertanya hal norak tapi sangat ingin gue ketahui jawabannya.

"Ma, siapa aja yang udah jenguk Kevin?"

Mama duduk di tepi ranjang gue dan menjawab sambil terlihat berpikir, "Selain Mama-Papa dan adek, ada Om dan Tantemu, sepupumu si Oka, ada temen arisan Mama juga..."

"Temen sekolah Kevin, Ma," ujar gue cepat sebelum Mama menyebutkan nama orang-orang yang tidak gue maksud.

"Oh, kemarin ada beberapa yang lupa Mama tanya namanya, tapi yang Mama inget ya Tony, Jordy, Anne. Terus ada yang ngenalin diri namanya Riana, terus ada anak kuliahan juga, Wali kelas sama perwakilan dari kelas kamu, terus...udah itu aja kayaknya." Sampai mulut Mama berbusa pun nama "dia-yang-gue-maksud" tidak akan tersebut.

"Eh, Kev. Mama boleh pulang dulu ngga? Kasian adekmu ngga ada yang urusin, nanti sore pas Dokter periksa kamu lagi, Mama kesini. Gimana? Kamu udah gimana nih rasa-rasanya?" ujar Mama.

"Mendingan lah, Ma. Udah ngga apa-apa Mama pulang terus istirahat aja dulu, Kevin kan tinggal manggil suster kalo kenapa-kenapa," gue meyakinkan. Akhirnya setelah berbagai negosiasi akhirnya Mama pulang juga dengan segala wejangan-wejangannya terlebih dahulu.

Gue menyamankan posisi dengan sedikit menaikkan sandaran tempat tidur, lalu gue melirik PSP yang pasti sengaja diletakkan Mama di atas meja dekat gue. Sekejap gue sudah hanyut dalam permainan dan lupa sekitar.

Pintu diketuk dan gue masih setengah sadar mengalihkan pandangan dari PSP, melihat ke arah kaca serupa jendela kecil yang ada di tengah-tengah pintu. Ada seorang perempuan disana, bukan suster tadi atau Mama. Tapi Alya.

Alya melihat gue melalui jendela di pintu itu, kesadaran gue penuh dan dengan isyarat kepala gue mengizinkan dia masuk. Pintu dibuka dan jantung gue mulai tidak stabil, sejenak gue berpikir untuk memanggil Dokter. Gue sempat melirik ke belakang Alya, tidak ada siapa-siapa--dia datang sendiri.

Alya menghampiri gue perlahan, wajahnya terlihat sendu seakan melihat gue yang sekarat. Dia berdiri dalam diam tepat disamping ranjang gue, menatap gue dengan tatapannya yang membuat gue ingin bangkit lalu memeluknya, tapi teringat dengan gips di kaki ini. Gue pun diam dan juga menatapnya, mungkin diantara kami sedang berusaha mentransfer pikiran satu sama lain.

Kemudian punggung Alya bergetar, bersamaan dengan isakan pertama yang langsung membuat gue lemas. Alya menangis.

"Al..." suara gue seketika serak seperti belum berbicara setelah siuman tadi. "Al, duduk..."

Dengan tangan bergetar Alya menarik kursi tepat ke samping ranjang gue dan duduk, masih menangis. "Kevin..." sambil terisak Alya memanggil nama gue, dan panggilannya itu seperti jarum infus ini bergeser sedikit, perih.

Gue terdiam. Menahan semua kalimat yang mau meluncur dari mulut gue dan memilih mendengarkan Alya terlebih dahulu.

"Kev..." isaknya, "Maafin gue, gue tau lo sadar kalo gue ngejauhin lo akhir-akhir ini.."

Gue menunggu Alya mengatakannya. Mengatakan kalau dia suka sama gue. Tapi gue ragu, apa seharusnya gue yang lebih dulu mengatakannya.

"...Tapi lama kelamaan ini jadi nyiksa gue, terlebih karena sikap lo yang mulai lain.."

"Sikap lo yang lebih ngga gue ngerti, Al," gue menyela kalimatnya cepat.

"Yah, erm, itu..." Alya menghela nafas, tangisannya mulai mereda sekarang.

"Gue udah tau semuanya, Al," ujar gue yang sukses membuat Alya kaget. Gue melanjutkan dengan dada yang sedikit sesak, "Dan gue minta maaf sama lo karena ngga pernah peka sama perasaan lo. Gue juga minta maaf karena gue baru sadar kalo gue juga sayang sama lo, Al." Gue berkata mantap, dan pernyataan gue itu membuat punggung Alya bergetar, dia mulai menangis lagi.

"M..maksud lo, Kev?" isaknya tidak percaya.

Gue tersenyum lembut, "Gue rasa lo udah ngerti, Al.." namun ada satu hal yang baru gue ingat, "Tapi gue terlambat karena terlalu bodoh buat sadar, Al. Lo udah milik Dira sekarang," sedikit nyeri mengatakannya.

Alya menggeleng kuat dan disela tangisnya dia berkata, "Ngga..."

Gue diam terkejut, lalu Alya mencoba melanjutkan walaupun tangisannya bertambah memilukan. "Gue ngga bisa nerima Dira, karena gimana pun sikap lo ke gue, gue ngga bakalan bisa hilangin perasaan gue ke lo, Kev," jawabnya jujur dan membuat gue lemas seketika mendengarnya. Astaga, gue benar-benar sayang sama cewek ini.

Gue mengangkat tangan kiri yang bebas infus untuk menghapus air mata dan membelai pipi Alya yang memerah saat itu juga, dan membuatnya semakin manis.

Ketika gue ingin menurunkan tangan kembali, Alya menahannya dengan kedua tangannya agar tangan gue tetap berada dipipinya. Dan dia menunduk dalam-dalam, menangis sejadi-jadinya sambil terus memeluk tangan gue.

Gue tidak kuat lagi, dan saat itu air mata lelaki yang gue tahan semenjak beberapa bulan yang lalu ini pun turun. Ternyata gue tidak pernah bisa tahan jika melihat Alya menangis, seperti yang sebelum-sebelumnya.

"Alya, tolong jangan pernah menangis lagi, di depan atau di belakang gue..." sambil berkata begitu gue berjanji dalam hati tidak akan membiarkan air mata kesedihan Alya jatuh lagi, gue akan selalu membuat Alya bahagia.

***

Kevin's story: I'M A FOOL (and I love her) COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang