Part 4

199 20 1
                                    

Selasa, 25 Januari 2011

Kesalahan bodoh gue lainnya: gue jadi menghindari Alya.

Setelah hari itu, dan beberapa minggu setelahnya gue malah jadi seperti 'Alya-yang-waktu-itu', dingin. Gue berpikir sepertinya lama-lama gue bisa lupa semuanya. Tapi anehnya, sikap Alya sudah mulai berubah. Dia jadi bersikap seperti biasa lagi ke gue. Itu.. Tidak enak.

"Hai, Kev," sapa Dira. Ya, setelah acara ulang tahun sekolah itu dia jadi sering main ke sekolah jika dia sedang tidak ada kuliah. Gue hanya senyum dan mengangkat alis, karena sedang terburu-buru untuk ke ruang guru.


Mungkin gue telat menyadarinya, atau karena awalnya gue tidak peduli gue pun tidak yakin. Yang jelas, lama-kelamaan gue tau kenapa Dira sering main ke sekolah. Dira dekat lagi dengan Alya.

Yah, beberapa kali gue melihat mereka berdua duduk bersama di sekolah. Gue tidak yakin apakah mereka sudah jadian atau belum, Riana pernah membicarakan mereka dengan teman-temannya. Yang gue curi dengar adalah Dira sudah nembak Alya untuk yang kedua kalinya sejak tiga tahun yang lalu, tapi tidak tau apakah diterima Alya atau tidak. Seperti dulu juga, tidak jelas.


Apa tanggapan gue tentang ini? Astaga, awalnya gue kira gue tidak akan peduli. Nyatanya, pikiran ini terbawa kemana-mana. Belum lagi selusin petinju yang tempo hari menghantam dada gue, sekarang jadi sering datang tiba-tiba ketika gue melihat Alya dan Dira jika sedang berduaan.

Seperti pada Selasa siang itu, jam istirahat ke dua setelah gue kembali dari ruang guru. Selasa siang yang cukup panas dan membuat gue enggan cepat-cepat kembali ke kelas karena AC kelas kami sedang rusak. Oh, terkutuklah uang SPP.

Gue sudah berdiri bersender pada sisi lemari pendingin kantin, bersama beberapa orang teman sekelas. Sebotol soda sudah menempel di tangan gue dan sedotannya tidak lepas dari mulut gue. Segar sekali.


Lalu gue melihat mereka, Alya dan Dira. Duduk berdua berdekatan di salah satu meja bundar kantin. Sialnya, posisi duduk Dira membelakangi gue dan Alya, tepat menghadap gue. Sialnya lagi, gue seperti tidak bisa mengalihkan pandangan dari mereka. Tanpa gue sadari--sesuatu yang gue ketahui ketika gue menulis cerita ini--mata gue menyipit dengan dahi yang berkerut selama memperhatikan mereka.

Gue berusaha mengalihkan keinginan untuk tidak memandang kesana dengan ikut menimpali percakapan teman-teman di sekeliling gue namun, sia-sia setelah gue tau pasti kalau Alya juga beberapa kali melihat ke arah gue.

Sejenak gue ragu, apa benar yang dilihatnya itu gue? Yah, mau pada siapa lagi memangnya. Di sekitar gue tidak ada yang dia kenal, lagi pula mereka sibuk berbincang dan tidak ada satupun yang mengarah tepat pada Alya.

Alya tersenyum, dan gue tidak suka--setidaknya pada saat itu. Gue tidak suka karena apa gue pun tidak tau. Tapi mungkin karena kebodohan gue yang seperti sebelumnya terjadi, gue toh membalas senyumnya juga.

Uh-oh, hantaman di dada gue terjadi. Dira bergeser sedikit rupanya untuk menunjukkan sesuatu di tablet pc kepunyaannya pada Alya. Terlihat dari samping sedikit wajah Dira yang berseri-seri dan tertawa. Alya mendekatkan kepalanya agar dapat melihat dengan jelas lalu ikut tertawa. Oh, yah, mereka dekat sekali saat itu.

Alya melirik ke arah gue, hei, Alya melirik ke arah gue? Keningnya berkerut, memangnya ada apa dengan ekspresi gue? Wajah Alya terlihat memelas ketika melihat gue, lalu perhatiannya tertuju pada Dira lagi, namun sesekali dia masih melirik gue dengan tatapan anehnya itu. Jujur, gue... Itu membuat gue deg-degan. Emh, gue semakin tidak suka kondisi ini.

Yah, kebodohan lain, gue pun beranjak pergi dari kantin. Gue menyempatkan diri untuk sekali lagi melihat mereka, aneh, Alya menegakkan duduknya dan matanya mengikuti kemana arah gue pergi. Gue tidak peduli.

***

Kevin's story: I'M A FOOL (and I love her) COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang