1. Damar

8 0 0
                                    


Dari semua kilauan, Engkaulah yang abadi.

~Dari Malam yang Sunyi -Nio-~



Bip bip

Layar telepon pintar menunjukkan pesan yang masuk untuk dibaca sekilas.

Ah, Mas Pandu ini, nanya sarapan aja pakek sms.

Aku segera keluar kamar setelah siap sedia pergi sekolah.

"Telor ceplok aja, Mas. Kasih kecap," sarapan pagi ini aku ingin cepat. Jam pertama ada ulangan fisika.

"Aku nasgor, yes?" Sahut Mas Fahmi lalu duduk manis sambil membaca koran.

"Mas Iqbal mana?"

"Masih jemur baju di belakang," jawab Mas Pandu yang tengah sibuk dengan wajan.

*

Inilah keluargaku. Aku anak bungsu dari 4 bersaudara, ketiga Mamasku kembar identik, yang membedakannya hanyalah gaya rambut. Mas Pandu bernama lengkap Pandu Wijaya Sakti. Dia –dianggap– yang tertua. Rambutnya cepak rapi. Profesinya kepala koki di sebuah rumah makan. Lalu Mas Iqbal, Muhammad Zain Iqbal, rambutnya agak panjang tapi disisir rapi ke belakang. Profesinya arsitek. Dan yang paling berisik, Mas Fahmi yang kepalanya mirip tentara. Khoirul Fahmi adalah nama yang ditempel di seragam kekinya yang jarang dipakai, dia guru olahraga SD. Aku yang paling ganteng ini diberi nama Damar Wulandari. Menurut cerita Ibu dulu, nama ini sangat pas, karena kehadiranku tepat saat bulan purnama dan menjadi cahaya di antara tiga anak lelaki.

Sejak Bapak dan Ibu tiada 5 tahun yang lalu, merekalah yang menjaga dan merawatku. Selisih usia kami sangat jauh, 15 tahun. Tinggi badan kami selisih 15 cm. Tapi aku tidak pendek. Kata Bapak dulu, kakeknya adalah orang Belanda. Mungkin itu sebabnya tinggi badan para pria di keluarga besar rata-rata 180 cm dan para wanita 170 cm, termasuk diriku ini.

Diasuh oleh Three Maskeren, aku jadi jauh dari sifat alami perempuan. Seperti hari ini, aku memakai celana olahraga sebelum rok abu-abu. Rambutku tidak pendek, cukup sebahu. Aku dilarang keras potong rambut di atas bahu. Huft.

"Selesai. Berangkat," setelah salim aku langsung meluncur dengan sepatu roda biru metalik.

"... Assalamualaikum."

"Wa'alakumussalam ..." ketiga Mamasku kompak menjawab.

*

Sambil meluncur kuingat-ingat kembali yang kupelajari semalam. Tanpa sadar aku sudah sampai di turunan yang seharusnya tidak kulewati –biasanya lewat jalan memutar– karena sering ada anjing yang tiduran di tengah jalan. Naas, roda sepatuku terlanjur lurus dan sulit dikendalikan.

"WA WA WA WA WA! MINGIIIIIIIIRR, GUK GUUUUKK....."

Terlambat!

BUGH

Si anjing terlempar. Aku terbang ...

Wah, kalau ini slow motion pasti dramatis. Batinku.

"HUWAAAAAAAAAA-"

BRUGH

Aku mendarat tepat mencium aspal.

Adudududuh ...

Aku mencoba duduk pelan-pelan. Alhamdulillah aku selalu pakai safety yang lengkap.

Eh?

Aku melihat bayangan lain –selain milikku– di sebelah kiri.

Ada orang ya? Duh, malu gila!

Pelan kuputar pandangan ke kanan.

Sepatu hitam lusuh, celana panjang abu-abu? Waduh!

Belum sempat melihat wajahnya, suara salak anjing mengalihkan pikiranku.

"WHAT?!"

Si anjing berdarah lari kencang ke arahku. Tanpa tunda tempo, aku berdiri, meraih tangan, lalu meluncur sekuat tenaga.

"MAAF, AKU TIDAK SENGAJA! CEPAT SEMBUH, YA! BESOK KUBAWAKAN AYAM." Semoga anjing itu mengerti apa yang kukatakan.

*

Aku terus meluncur menyusuri jalanan aspal desa. Setelah merasa cukup aman, aku berhenti di depan sebuah toko bangunan yang masih tutup. Bernapas sebentar. Aku baru ingat menggandeng tangan seseorang saat kuangkat kedua tangan untuk peregangan. Kulirik pelan, aku takut, kupandang wajahnya ....

"Astaghfirulloh!" Aku kaget melihat ekspresinya yang geram, lelah, bingung, serta kehabisan oksigen.

Siapa ini? ...

>> Bersambung >>

CAMARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang