Tetesan hujan mulai turun. Sangat perlahan, saat jatuh tepat di keningku, lalu mengalir lembut dengan rasa dingin yang berakhir kembali menghantam tanah.
Menengadah aku menatap langit yang kelam. Langit seperti mengerti kegundahan hati manusia yang berada di naungannya. Seolah turut bersedih dengan hujan sebagai kamuflase air mata.
Kata kata lama, seperti tulisan beberapa penyair yang telah ratusan, ribuan, bahkan jutaan kali menyebutkan bagaimana hubungan hujan, kenangan dan rasa sedih bersatu. Seolah telah terikat kontrak seumur hidup, manusia menjadikan hujan sebagai pelampiasan sedih dan kecewa. Berlari di tengah hujan, membiarkan bulir bulir air yang membasahi wajahnya, berharap air hangat yang turut serta membasahi pipinya adalah bagian dari hujan. Berharap hujan akan menggantikannya, berharap hujan akan membawa pergi jauh atau merubahnya menjadi sama dinginnya dengan suhu air yang membasahi tubuhnya.
Hingga hujan menyerah dan tak lagi mencurahkan rasa ibanya. Hujan mengutus pelangi dengan warna yang dibuat lebih indah di banding langit senja yang mulai temaram.
Hingga pelangi yang tersenyum lelah kemudian pergi dan menghilang. Menyisakan hujan air hangat yang masih terus membasahi pipi dan berakhir menghantam tanah.