Halaman ketiga

988 113 30
                                    

Seokjin termenung lagi. Gitar akustik di dekapan kehilangan alunan setelah jemarinya terjatuh lemas, kehilangan minat juga. Bosan mendera. Bahkan sempat hadir mengoyak mood baik yang susah payah dibangun. Seokjin kembali meratapi kehidupannya yang kelam ini.

'Rindu ibu'

Kendati hati berbicara tentang apa yang menyebabkan luka, Seokjin masih enggan mengakuinya barang sedikitpun. Rasanya ingin menghilang saja. Dengan begitu luka batin ikut lenyap. Hingga pendar lampu taman yang di kelilingi serangga kecil merebut atensi Seokjin. Pikirannya mulai berandai-andai dengan imajinasi liar nan hiperbolis. Andai redup, si bohlam ditinggalkan. Miris.

Seokjung pergi sejak siang. Katanya, ada urusan kampus. Hanya meninggalkan sebotol susu coklat lengkap dengan dua buah apel. Mana kenyang. Sejak tadi gusar, antara menahan lapar dan rindu. 'Rindu ibu'.

Sebenarnya bocah itu sudah gatal, kelam malam membuat jiwanya ikut senyap. Seokjin beranjak meninggalkan rumah setelah menyandar gitar pada pot bougenville. Niatnya hanya jalan-jalan, syukur-syukur bisa bertemu Yoongi. Kakinya berpacu santai sembari menghirup udara malam. Rencananya juga ingin mampir ke Silim demi menikmati kudapan favorit.

Terlalu jauh melangkah, masih pukul sembilan tapi sudah sepi. Salahkan Seokjin yang memilih gang sempit untuk dilalui. Seperti gangster yang sedang beroperasi tengah malam, bocah itu menunduk dengan topi yang sengaja diturunkan. Tujuannya adalah kedai bibi Kim. Lumayan, Seokjin biasa mendapat diskon jika makan disana.

Seokjin suka dengan kehadiran anak-anak yang berlarian di sekeliling kompleks. Ditambah jeritan pipit memenuhi langit kota. Rasanya seperti tidak mau pulang. Sampai terbersit ide gila.

'Bagaimana jika tinggal di jalanan?'

Seokjin masih waras, kok. Cuma sedikit kurang benar saja malam ini. Efek kesepian. Lanjut berpacu membelah jalanan kota Seoul. Kira-kira sudah sepanjang dua kilo meter, Seokjin enggan berhenti sampai kakinya benar-benar kebas.

--

"Kemana adikmu?"

Jinsil membombardir kedatangan Seokjung dengan tatapan tajam. Hari ini si sulung rela pulang sampai tengah malam demi selembar RAB yang 'urung' tuntas. Belum sempat pemuda itu duduk atau bahkan dipersilahkan masuk, Jinsil sudah menghadang di ambang pintu.

"Jawab!"

"A... aku.. tidak tahu Bu." Lidahnya tetap Kelu bahkan saat Jinsil tega menggertaknya tanpa ampun.

Pintu didorong sampai terbuka lebar membentur tembok. Jinsil terlalu emosi, "Lihat! Bocah itu menghilang,"

"gitarnya disana, ini ponselnya. Kamu sudah besar tapi kenapa belum becus mengurus saudara sendiri. Tidak mungkin bermain ke rumah temannya tanpa membawa ponsel." Jinsil membanting benda pipih yang digenggam sampai membentur ujung sepatu Seokjung. Dadanya bergemuruh menahan amarah.

"Yoongi bilang Seokjin tidak mampir ke rumah, kamu tau betapa cerobohnya bocah itu? Pintu ini dibiarkan terbuka sampai aku pulang. Sudah cukup aku hidup susah dengan kebodohan kalian."

Tanpa pamit, Seokjung berlari menembus kelam malam demi Seokjin. Siluet si sulung sudah menghilang sebelum Jinsil selesai bicara. Tepat sekali saat si ibu melontarkan keluhan yang lama terpendam.

Tubuhnya tumbang, Untung saja kusen pintu berada tak jauh dari jangkauan. Jinsil menangis dengan suara tertahan. Bohong, jika mengaku tak khawatir. Wanita itu rela bolak-balik memutari perumahan demi mencari keberadaan si bungsu, sampai klimaksnya ia benar-benar menyerah. Memilih menunggu Seokjung untuk menuntut penjelasan.

Obsidiannya memejam dengan setetes likuid yang ikut jatuh. Mau sampai kapan dia terus seperti ini? Jinsil sangat menyayangi buah hatinya, tapi mengingat kejadian lima tahun silam jiwa keibuannya luntur bersama kobaran dendam yang membakar semua ketulusannya. Lenyap. Tak bersisa.

Jinsil terseok meraih benda pipih yang sudah hancur berkeping-keping. Layar datarnya retak. Jari-jari tangannya ikut merangkai baterai dan casing yang terhempas. Itu milik Seokjin.

Tangisnya kembali pecah saat ponsel kembali menyala. Ada fotonya disana. Bertiga dengan Seokjung, sepertinya setelah menghabiskan waktu di kebun binatang. Ah, Jinsil ikut rindu.

--

Seberapa jauh pun akan Seokjung tempuh demi Seokjin. Pikirannya terlalu kacau kali ini. Cara terbaik mencari si bungsu adalah menyambangi kedai bibi Kim yang sudah jadi langganan. Seokjin kerap bercerita, betapa baiknya si bibi yang selalu menghadang Seokjin saat pulang sekolah untuk sekedar mampir atau makan.

"Bibi, maaf mengganggu malam-malam. Apa Seokjin mampir kemari?" Itu Seokjung yang spontan menghalangi jalan si bibi untuk mengantar sebuah menu. Sempat mendapat tatapan aneh dari para pengunjung yang didominasi oleh mahasiswa. Seokjung terlalu kencang bersuara.

Tubuh gempalnya masih bisa menyalip. Kedua tangan yang cukup sibuk dengan nampan dan beberapa mangkuk di atasnya ikut mengisyaratkan sesuatu.

"Duduk dulu."

Seokjung menolak spontan tawaran si bibi, bukannya tidak sopan, hanya saja Seokjung sedang dilanda cemas. "Tidak bi, aku hanya ingin mencari Seokjin, bibi cukup menjawab ya atau tidak."

"Anak muda tidak ada sabarnya sama sekali."

Persetan dengan ujaran kasar si asisten dapur. Seokjung masih bisa mengontrol emosi sejauh ini, "Seokjin menghilang, bi."

Langkahnya terhenti mendengar rintihan Seokjung yang langsung menangkup wajah. Wanita tambun di belakangnya bergegas berbalik meninggalkan beberapa perkakas dapur yang sempat disiapkan.

"Seokjin-ku kabur?"

Bibi Kim saudari ayah, beliau juga punya andil dalam merawat dirinya dan Seokjin. Wanita gemuk yang masih syok itu terduduk lemas dengan pandangan kosong. Seokjin sudah besar, perginya si keponakan tidak mungkin tanpa disertai alasan jelas.

Seokjung menggeleng pasrah tanpa penjelasan. Bibirnya mengatup menahan isak. Ini sudah tengah malam, tidak biasanya Seokjin keluyuran sampai selarut ini.

--

Pukul tiga dini hari. Seokjung pulang dengan langkah gontai tanpa membawa si bungsu. Apa yang harus dijelaskan pada ibu? Diusir keluar, pun rela asal bisa menebus keteledorannya dalam menjaga Seokjin. Seokjung tidak berani masuk.

Ayolah, mentari. Segera muncul dan akhiri semua kekelaman ini. Sejukkan semua hati yang ia sayangi. Termasuk ibu. Bahkan pendaran kejora di langit tak mampu mengobati lukanya. Seokjung bersimpuh di atas lantai dingin. Netranya memejamkan sambil merapal beberapa doa, berharap Tuhan mengirim rengkuhan untuk jiwa yang rapuh ini. Seokjung menangis tersedu.

Hampir saja pemuda itu terlelap di teras rumah kalau saja tidak mendengar suara kayu terbentur. Netranya memicing menerka sesuatu. Seokjung tidak bodoh, barusan adalah suara pintu yang terbanting. Lututnya menegak. Pemuda itu lantas memberanikan diri untuk masuk.

Debaran jantungnya mereda seketika tatkala melihat presensi Seokjin yang sedang terlelap di atas ranjang. Senyum itu kembali terpatri, menarik kedua sudut bibirnya yang lama terkatup. Seokjung lega.

Kakinya berpacu membenahi selimut si bungsu. Tidak apa dia sempat mendapat 'dampratan' dari Jinsil, asal Seokjin pulang dan hadir kembali di rumah sederhana mereka. Seokjung mengamati wajah yang lebih muda sembari menelisik sudut kamar yang masih rapi tak terjamah.

Tunggu.

Ada yang aneh. Lantai dekat toilet basah. Ada genangan air juga disana. Seokjung mendekat, benar saja kamar Seokjin begitu becek. Belum lagi lantai dipenuhi dengan gayung dan handuk yang berserakan. Seokjung kembali menerka, langkahnya mendekat ke tempat Seokjin berbaring. Kakinya dingin, kukunya memucat, dan rambutnya basah.

Seokjung mengepalkan kedua tangan dengan gigi yang saling bergemeletuk.

Pasti terjadi sesuatu.

New Birth | KSJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang