Tak Terungkap

751 72 5
                                    

-

Jinsil mengumpat sembari menghempas beberapa kali tapaknya ke tanah. Izin keluar, tanpa kabar pergi hingga larut. Sempat menelpon ibu Jeon dan barusan mengklaim Jungkook sudah kembali 2 jam yang lalu. Jinsil nyaris naik pitam.

-

'Sial! Kenapa cepat sekali sampai rumah'

Tak henti menggerutu tatkala tikungan sampai pada ujungnya. Lampu jalan yang berpendar seolah mengejek, mengiming-imingi sebuah asa, tanpa ampun menghujam keputusasaan lewat sinar. Seokjin tak suka terkungkung. Diperlakukan layaknya orang sekarat, padahal ia masih bisa berjuang.

Kakinya gatal ingin menendang bebatuan di sisi selokan.

"Seokjin? Baru pulang, nak?"

Keningnya mengerut, suara yang amat dirindukan terdengar nyata. Seokjin mendongak setelah beberapa saat menunduk, menatap lurus ke depan mencoba melihat lebih jelas presensi ayah.

Si paruh baya rupanya telah stand by menunggu di depan gerbang besi dengan tangan yang ia lipat di dada.

"Ayah?!" Netra besar itu menyipit, seokjin cukup sadar meski kepalanya dihujam rasa pening luar biasa. Realita fatamorgana yang sesungguhnya. Ingin merengkuh secepatnya dekapan sosok ayah yang begitu dirindukan.

Seokjin ambruk.

Realitas segera bergulir. Presensi ayah tergantikan Jinsil yang tergopoh menggapainya. Disusul si sulung, sembari berlarian dari sudut rumah, memekik nama seokjin berulang kali di tengah malam tertutup gulita.

-

"Seokjin?"

Berulang-ulang menyebut nama si bungsu. Roda brangkar yang berkitar cepat hampir meloloskan tautan tangan keduanya. Sangat dingin, bermaksud menyalurkan kehangatan untuk putra kesayangan. Jinsil tak mampu lagi berucap.

Seokjung mencoba menghentikan sembari merujuk kewarasan sang ibu yang makin membaur, "Seokjin baik-baik saja, bu. Ayo, kita bertaruh."

Gemetar enggan berdamai tatkala beberapa tim medis berhamburan keluar  mengusung beberapa peralatan yang berjajar di meja mayo. Jinsil tergugu, sulungnya tak henti mengurut punggung ibu yang terkulai di pelukan.

-

'Hanya stres' katanya.

Barusan diberitahu interpretasi serangkap hasil tes bungsunya. Jinsil patah arang, liurnya hampir susut menjelaskan riwayat kesehatan sang putra.

"Jinsil, aku dokternya. Seokjin-mu itu hanya stres. Tidak ada diagnosa serius, lain kali interogasi empat mata barangkali ada hal yang sulit diungkap."

Perempuan bule di hadapan cukup pegal menyakinkan teman bebalnya yang terlampau cemas. Jinsil kukuh, enggan pergi hingga ada kata 'ralat' dari si lawan.

"Ataksianya bagaimana."

Aksen menantang terlafal jelas. Ya Tuhan, sebenarnya yang ahli siapa, sih? Citra di lembaran hitam disodorkan penuh rasa gemas. Ada bagian yang sengaja ternoda tinta putih agar tak ada lagi implikasi berujung debat.

"Ukurannya masih sama. Penyusutan berproses sangat lambat. Kamu harus bersyukur."

"Seokjung lelah menunggu, dua jam lagi bungsu-mu akan bangun pula. Bijaklah Jinsil."

Jinsil beranjak gontai. Lipstik yang memudar seolah bicara bahwa si empu sangat lelah. Cemas yang overdosis ditambah lagi ketakutan yang sulit diredam. Hati ibu mana yang tidak koyak melihat putranya kesakitan.

-

Senandung merdu milik Lee Sora sengaja dibiarkan supaya berpadu bersama atmosfer senja. Penghujung hari hanya dilalui sembari mengusap jemari dingin si bungsu yang tak kunjung sadar.

Seokjung ikut getir, ibu laksana perdu layu yang hampir roboh. Seokjin tetap terpejam damai seolah enggan terjaga. Menyisakan ibu yang ajek menanti seraya meratap. Ah, ia tipe manusia optimis kok. Menghampiri jendela di ujung bilik, biarlah kelip pelita di menara tengah kota yang menghibur ibu.

Jinsil memarak telapak Seokjin ke dada. Sekujur tubuh sangat dingin, belum lagi katup bibir si bungsu yang mengungu. Tenaganya hampir terkuras berdebat dengan tim medis yang maha tahu. Jinsil ingin tidur, berdamai sejenak tanpa prasyarat. Barangkali....

"Bu.."

Kerjapan penuh arti membesut lirih di paras ibu.

"Bu, aku bertemu ayah."

Jinsil mengiyakan sukarela. Tak ada iras cemas. Hanya sembab dan kebahagiaan yang menular.

"Ayah bilang apa?"

Seokjung ikut mendekat. Selepas berdoa sembari menatap mega oren yang terinvansi gulita, suara Sang adik tiba-tiba menyapa meski lemah

Seokjin menggeleng lunglai, "aku pergi memilih ibu."

"Aku lapar makanya ingin menyusul ibu."

Si sulung tertawa lepas. Astaga Kim Seokjin benar-benar titisan Charlie Chapline yang menumpang tumbuh di rahim ibu. Jinsil tak kuasa merepet. Biarlah bocah tak tahu diri ini tetap bodoh.

"Jangan bicara soal ayah terus, ibu jadi sedih."

Seokjin mengiyakan sepihak. Mimik ibu mengandung efek retorika yang dahsyat tahu! Sekali diubah aura ikut berganti rona. Hebat kan?





-











HAPPY EID MUBARAK PARA PEJUANG THR:)

Ku harap kalian tydack bodoh dg keluar di tempat ramai seperti para pendahulu kita kemarin🙃

Udah tau musim kororong kok masih pd goblog._. PSBB longgar dikit udh pada bertaburan cari baju baru buat lebaran (alhamdulillah-_-)

Yg masih kesirep teori konspirasi, keep going aja gays.. asal pelajari segala hal dg bijak👌😙











New Birth | KSJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang