Berubah

975 89 25
                                    

"Oke, sudah selesai." Seokjin digiring menuju tempat semula dan menghampiri ibu yang tengah mengawasi sambil melipat kedua tangan. Sedikit 'bossy' tapi Seokjin suka. Ibu memang selalu menjadi yang terbaik dalam mengatur karakter.

"Kenalkan, ini dokter Taylor."

Ibu menepuk bahu Seokjin yang makin bidang, meski wanita itu paham putranya tengah kebingungan Jinsil tetap enggan menjelaskan apa yang sedang terjadi. Seokjin terseok menghampiri dokter Taylor-- orang asing itu-- dengan hasil copy-an pemeriksaan di sebelah kanan meja.

"Ayo, beri hormat dokter Taylor. Beliau mantan pacar ayahmu, omong-omong." Jinsil terkekeh pelan, disambut pula oleh sosok asing yang tengah diperhatikan Seokjin. O, ayolah, harusnya Jinsil jelaskan dulu kenapa dia dibawa ke gedung ini? Padahal rencana awal ingin merayakan hari ulang tahun perusahaan ayah yang dulu terbakar--karena ulahnya.

"Bu--"

"Nanti ibu jelaskan, ya?" Seolah membaca pikirannya dengan baik, Jinsil menggiring Seokjin sambil membuat gelagat menenangkan. Keduanya bergelut oleh suasana tidak jelas, seperti deru pendingin ruangan yang saling bersahutan menyembur udara tidak tentu arah sesuai perintah remote control. Seokjin seperti disekap oleh beberapa orang asing-- selain ibunya--- di tempat terpencil. Ya, ia tadi sempat menghitung nominal lift yang ditekan sang ibu. Mungkin tepatnya di lantai paling atas.

"Oke, setelah ini bicara keluhan."

Seokjin tertegun, waktu dokter asing yang sangat akrab dengan ibu berbicara bahasa Korea dengan baik. "Keluhan apa? Aku tidak sakit, iya kan Bu?"

Jinsil meremas jemari bungsunya yang sudah berkeringat dingin. Seolah ingin mengatakan hal lain dan si empu tak tega. "Yoongi bercerita pada ibu, kamu sering tiba-tiba jatuh dan tidak bisa merasakan kedua kaki, iya kan? Lalu memaksa untuk terus ikut latihan basket, pulang malam dengan perut kosong, dan tidak mau dijemput Seokjung pula, kamu pikir ibu tidak khawatir, huh!"

Emosinya meledak. Dua orang perawat yang berjaga berusaha menenangkan ibu tanpa diperintah. Seokjin bungkam, persepsinya bukan lagi tentang Yoongi yang sangat baik, tapi provokator. Sial! Seokjin beranggapan itu semua dilakukan hanya demi merebut posisi kapten di tim basket. Dasar! Pembual!

"Sekarang kamu harus jujur, Seokjin. Ibu akan marah besar jika ada kebohongan disini."

Seokjin menimang. Ya Tuhan, kenapa jadi serumit ini, sih? Tanpa diberitahu Yoongi hidupnya juga akan baik-baik saja, kok. Pikirannya berkelana mengorek jejak memori untuk diceritakan, berkelebat bagai roll film yang terkatrol dengan baik. Seokjin terbawa arus tanpa sadar. Sembari melihat ibu yang sembab. Bibirnya fasih menceritakan potongan peristiwa yang berkaitan.

-------

Seokjin termangu, menghitung butiran hujan di bawah atap seng berkarat. Mendengus kesal tatkala gemercik tak lagi terdengar merdu, kabarnya sirna, dihapus oleh tumburan rinai dengan atap kumuh.

Barusan, sekolah mendengar kabar duka dari keluarga Choi Jinri. Gadis kebanggaan kelas bahasa.

Setelah seminggu menghilang dari kehidupan sosial, Seokjin dibuat terkejut dengan keputusan teman seperjuangannya untuk mengakhiri hidup. Membayangkan betapa berat beban Jinri yang notabene gemar sekali menebar senyum. Gadis seceria itu seharusnya hidup bahagia.

Atensinya terpaku pada balutan perban di pergelangan tangan kiri. Berpikir bodoh, harusnya ia pakai cara Jinri supaya ampuh. Seokjin menekan bagian luka hingga kebas. Petrikor seolah ikut campur dengan menebar aroma nikmat yang pas.

New Birth | KSJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang