Halaman Kelima

970 111 14
                                    

Fisika mengatakan: elemen tubuh juga mengalami turbulensi. Gesekan dan tekanan kerap terjadi tanpa bisa dihindari. Bukan, bukan jasad yang merasakan. Namun batin. Melawan arus dan tumburan, kadang logika berusaha menyembuhkan. Tapi gudang jiwa benar-benar tidak kuat menampung. Penuh, berujung membludak.

Seperti halnya Jinsil. Sudah tiga hari ini si bungsunya tergeletak tidak berdaya di ranjang kamar. Menyambangi saja tidak pernah, apalagi merawat. Hanya membuat bubur dan susu hangat lalu membiarkan Seokjung yang mengantar ke kamar. Sebenarnya ada sisi lain yang senantiasa mendobrak hati nurani selayaknya sosok ibu. Namun secepat kilat wanita itu menepis.

Padahal spasi keduanya tak begitu berarti. Kamar bersebrangan, Seokjin terbatuk, pun dia dengar. Bohong jika Jinsil mengaku awam. Omong-omong, dulu ibu dua putra itu seorang pengarang senior di salah satu platform media. Spesialis tema keluarga, bahkan beberapa karyanya berhasil diterbitkan. Pernah, pada masanya Jinsil menjadi mentor parenting untuk ibu muda lain.

Tapi apa ini?

Putranya sendiri ditelantarkan. Tanpa sadar menoreh luka dan dzalim.

Setidaknya temui Seokjin dan beri nasihat. Apa susahnya? Yakin, bahwa Seokjin pasti menghargai usaha Jinsil yang rela meluangkan waktu.

"Jangan lupa obatnya ditumbuk dulu." Melenggang pergi setelah memerintah si sulung yang sibuk merapikan pantry.

--

"Mau kemana?"

Seokjung beringsut menopang punggung si bungsu yang berusaha bangkit. Takut-takut kalau tiba-tiba jatuh kebelakang.

Seokjin menatap kedua pasang kakinya yang terasa aneh. Baru saja mau diturunkan Seokjung sudah melarang. Lama-lama Seokjin mendadak stres jika selalu dilarang.

"Kaki ku rasanya aneh." Berusaha meluruskan salah satunya.

"Apa kamu melakukan hal aneh selain baris berbaris?" Seokjin menggeleng. Tidak ada yang dilakukan pada hari itu kecuali beberapa gerakan jalan ditempat, serong, hadap, dan lain sebagainya. Kalaupun Seokjung tidak percaya dia berani bersumpah.

Seokjung mengusap celana panjang Seokjin. Tidak ada yang bisa dilakukan selain memberi semangat, "Mau main bola basket?"

Berbinar. Tawaran Seokjung sukses membuat adiknya serasa terlahir kembali. Tentu saja bocah itu mau. Beranjak mengambil si oranye di sudut ruangan. Seokjung mendribble pelan kearah Seokjin yang masih terduduk di sisi ranjang.

"Tapi di kamar saja."

Berbalik kecewa. Dasar penipu! Ekspektasi Seokjin dihempas begitu saja tanpa belas kasih.

--

"Anda dilahirkan dengan sayap, tapi kenapa suka merangkak?"

Jalaluddin Ar Rumi memberi sepercik nasihat dalam wujud prosa. Membuat si penggemar bergumam sendiri dengan beribu ketidakjelasan. Itu Seokjin, yang barusan memaksa sang kakak untuk membawanya ke ruang keluarga.

Kecerdasan linguistiknya warisan dari ibu. Sepertinya Jinsil harus banyak-banyak bersyukur atas kehadiran Seokjin dalam hidupnya. Setelah masuk nominasi, bocah itu berkomitmen mengirim karyanya kembali ke ranah Nasional.

Bagaimana dengan basket?

Tenang, Seokjin punya sisi lain yang amat mencintai basket dan musik sekaligus.

"Puisi lagi? Dia tidak bisa dijual, lebih baik melukis." Siapa bilang? Puisi lebih komersial daripada sepetak lukisan yang menghabiskan banyak tenaga. Seokjin melengos membuat si sulung gemas ingin menyepaknya saat ini juga.

New Birth | KSJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang