i. Song Hyeongjun: Everyday is a battle

804 66 51
                                    

PARA KELOPAK merah muda yang mencerminkan musim semi ditiup oleh angin, lalu menyapu; jalanan; rerumputan; dan bebatuan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PARA KELOPAK merah muda yang mencerminkan musim semi ditiup oleh angin, lalu menyapu; jalanan; rerumputan; dan bebatuan. Langit biru terang, jikalau diberi sentuhan putih akan nyaris menghilang. Mentari tidaklah terik karena sembunyi di dalam dekapan kapas putih. Hiruk pikuk memenuhi runguku--entah itu bunyi klakson kendaraan, layar besar yang berisi iklan atau liputan pagi, mereka yang berbincang kepada satu dengan yang lain.

Aku duduk di kursi tunggu halte bus. Memeluk erat tas. Wajahku seketika cerah tatkala bus yang kuharap datang membuka pintu masuk. Terlihat jelas tak hanya aku yang menunggu bus ini, beberapa siswa yang ikut duduk bersamaku pun naik. Agak miris melihat mereka bersama, memiliki teman sedangkan diriku sendiri. Sebenarnya aku bukan seorang penyendiri, hanya saja temanku benar-benar sedikit--bahkan bisa dihitung jari.

Aku tahu kalimat: "gugup saat bersosialisasi" tidak bisa dijadikan alasan mengapa temanku sedikit. Barangkali kalian berpikir: Kalau gugup, harus berani dong biar enggak gugup. Ayo coba, kamu pasti bisa!--Berucap jauh lebih mudah dibandingkan melakukannya, bukan? Karena ucapan dari mulut seseorang terkadang tak terkendali, apakah mereka tidak berpikir sebelum berucap? Mengapa tidak ada satupun yang sadar bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti ada sebabnya? Tidakkah mereka mencoba tuk mencari akar masalahku? Mengapa mereka hanya menyuruhku tuk berani? Mereka tak berada di posisiku, mereka takkan pernah mengetahui rasanya. Lantas, apa hak mereka tuk mengatakan hal itu? Aku tahu tujuan baik mereka saat mengatakannya padaku. Namun, segala lontaran terkesan meremehkan.

Tatkala segala pemikiranku berkecamuk jadi satu. Seseorang menepuk bahuku. Aku menengadah dari tempat dudukku. Aku mengenal pemuda di depanku. Drummer band sekolah, salah satu murid pintar dengan senyuman lembut yang tak pernah hilang. Dan ya, secara fisik ia menawan tanpa kecacatan sedikit pun. Di detik tatapku bertemu dengannya, aku tahu satu hal yang pasti:

Dunia itu tak adil.

Bagaimana bisa ada seseorang yang terhitung sempurna seperti ia? Ia memiliki segalanya mulai dari fisik, sikap, dan otak--dan teman yang banyak. Bohong jikalau berujar aku tak iri. Kurasa hampir semua murid iri dengannya.

Kim Mingkyu si pemilik segalanya. Barangkali jikalau ia ingin, ia bisa mendapatkan satu semesta.

"Maaf mengganggu." Mendengarnya, lalu aku mengangguk.

"I-iya--enggak apa-apa."

"Boleh tolong bangkit? Ada ibu hamil," ia berbisik. Tangan kanannya menahan gantung yang berbentuk segitiga, sedangkan tangan kiri menunjuk samping kanan. Aku bercelingak-celinguk panik karena berada di situasi yang tak pernah kubayangkan. Akhirnya aku pun bangkit, menawarkan tempat duduk pada ibu hamil. Dia berujar terima kasih, sedangkan diriku berminta maaf karena tidak menyadarinya.

Aku berdiri di samping Minkyu-sunbaenim, tiada sepatah kata yang terucap sampai pada akhirnya kita turun dari bus. Karena aku yang terlalu diam, bahkan tubuhku gemetaran sekarang meminta segalanya melaju cepat. Atau justru memang tiada basa-basi untuk dikatakan? Apa pun itu, aku berterima kasih.

Flutter of Cherry Blossom ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang