03

1.4K 199 15
                                    

"Apa masih sakit?"

Apabila Lisa kalkulasikan, mungkin itu sudah kelima kalinya seorang Jeon Jungkook mengulangi pertanyaan yang sama dalam kurun waktu kurang lebih tiga jam. Hanya beri jeda beberapa saat, maka Jungkook akan bertanya lagi. Ia bosan, tapi ia tetap menyahut beserta lengkung sabit di bibir ranum. "Tidak, Kook."

Jungkook menghela napas panjang. Entah apa yang ada dalam pikiran ketika menatap kaki kiri Lisa, yang terlintas saat itu juga adalah melempar tanya berulang untuk memastikan bahwa Lisa baik-baik saja. Jungkook tak ingin kehilangan.

"Syukurlah," kata Jungkook lega.

Dengan posisi berhadapan sambil merajut pandang di samping jendela besar penginapan, mereka sama-sama melempar senyum tipis beda arti; Lisa dengan senyum biasa, sedang Jungkook dengan senyum abnormalnya. Sudah berjam-jam Jungkook mengamati Lisa, kendati begitu hati tetap tak tenang. Jungkook takut jika Lisa kembali bertanya, "Kapan aku bisa pulang?" Karena Jungkook sendiri tak tahu jawabannya. Ingin melarang, tapi ia tak memiliki hak. Ingin membiarkan, tapi hati tak memperbolehkan. Ini hari ketiga, tapi perasaannya tetap tak berubah, malah kian membesar seiring sangkala mengambil kuasa.

"Kook." Si duyung memanggil lirih dengan kepala tertunduk murung.

Jungkook tak menyahut, percuma juga jika ia lakukan, pertanyaan Lisa akan tetap sama. Dan ia mulai jengah.

Lisa memejamkan pelupuk mata. Ada tetes likuid mengalir ketika ia semakin menunduk dalam cerukan lekuk kaki. Rindu semakin merangsek masuk tanpa permisi, menguras cangkir memoar yang hampir kerontang isinya—barangkali saat ini sudah sekarat.

Menurunkan ego, ia kembali bersua dengan vokal menyayat jiwa, "Kook, kumohon,"

Kepalan tangannya mengerat seiring isak Lisa menggema mengisi ruangan. Perih ketika mengamati bagaimana likuid bening turun satu persatu dari sudut pelupuk matanya. Jungkook ingin Lisa menetap, tapi dia juga ingin Lisa terkikik cantik tiap saat. Pilihan yang tersedia hanya ada dua; melepaskan dengan bersih hati, atau mengutamakan sikap represif dengan ego tingkat tinggi.

"Biarkan aku pergi, Kook."

Jungkook menggeleng kontra. "Tidak, tidak akan pernah."

"Kau sudah memiliki Yura. Tolong, jangan tamak seperti ini," kata Lisa terisak.

Jungkook bersikukuh. Dia ingin Lisa, bukan lagi Yura.

"Sudah kubilang berkali-kali, kau harus menetap, lukamu masih belum sembuh." Jungkook beropini dengan vokal tinggi menyelimuti. Dadanya otomatis naik turun ketika ego terkuras habis. Kendati ia mulai lelah, tetap saja ia bersua rendah, "Jangan tinggalkan aku sendiri lagi. Aku tidak bisa, Lisa, aku membutuhkanmu di sini. Hanya presensimu yang bisa mengerti sikapku. Yura tidak bisa seperti itu."

Ah, ingin rasanya Lisa menendang otak kecil Jungkook saat itu juga. Meski jengah sudah mencapai ubun-ubun, ia tetap menyahuti penuh kesabaran, "Kami berbeda, Kook. Yura punya kelebihannya sendiri, harusnya kau mengerti itu."

"Aku mengerti, tapi kami juga tak bisa menunggal, melebur bersama, bahkan menjadi satu pendapat saja kami tak bisa." Jungkook mengerang frustasi disertai cengkeraman kuat pada helai-helai rema jelaganya.

Lisa bungkam. Jalan untuk meruntuhkan tembok pembatas Jungkook sudah ada di depan mata, lalu mengapa ia masih stagnan seketika?

"Kami berbeda juga, Lisa, kau harus mengerti itu."

"Kenapa bisa berbeda?" Lisa bertanya dengan nada tak percaya. "Kau terlihat sangat mencintainya ketika awal kali kita bertemu.

"Memang, aku memang sangat-sangat mencintainya," kata Jungkook, "tapi kami tidak bisa bersatu."

[✓] 4 Days With SereiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang