Apa yang kalian pikirkan saat kusebut cinta pertama? Pasti menarik, mengesankan, lucu? Ah ... kalau begitu kalian beruntung. Kalian menikmati masa muda dengan sebaiknya.
Bagiku? Cinta pertama adalah ... luka pertama. Ini konyol memang jika aku terlalu serius menganggap ini hal terberat. Namun nyatanya luka pertama adalah hal terberat yang bahkan masih aku rasakan sejak kehadiran cinta pertamaku.
Kupikir tujuh tahun lalu. Tepat saat aku dianggap anak baru puber. Tepat saat aku baru dianggap mengenal cinta monyet. Tepat saat aku menjatuhkan rasa itu kepada sahabat sedari kecilku. Hingga pada akhirnya, menjadi masa tepat saat aku akan kehilangan dirinya untuk selamanya.
Lucu memang. Orang-orang bahkan hanya menyebut ini cinta monyet. Namun jika semua hanya cinta monyet, mengapa luka yang tertoreh selepasnya tak bisa hilang begitu saja?
"Happy birthday to you ... happy birthday to you ..."
Aku tersentak. Nyanyian ulang tahun begitu saja meletup memori yang terputar di kepalaku.
"Aldo?" Aku terkejut. Begitu sarat kentara.
Kulihat dia semakin menyipitkan mata, melebarkan senyuman yang tak biasa kulihat secerah itu.
"Kupikir aku yang sedang berbahagia, kenapa kamu terlihat lebih bahagia? Curang," kataku sedikit terlihat kesal.
Aldo tertawa, sedikit tertahan. karena jika dia lepas tertawa, mungkin kue tart berlilinkan angka satu dan sembilan di tangannya sudah berserakan di rerumputan taman.
"Make a wish babe," tutur Aldo seketika membuat mataku utuh membulat. Namun selepasnya kuturuti juga maunya. Sejenak memejam mata, merapal harap yang sedikit kupunya. Aku tak banyak berharap, karena telah paham bentuk resikonya.
Resiko berharap itu berat. Benar bukan? Mungkin orang biasa tak akan bisa. Ya, bagaimana bisa seseorang mampu dengan mudahnya bangkit dari jerat luka harap yang hampa? Ini memang berat kan? Atau aku saja yang terlalu menganggapnya berat? Sama seperti resiko luka yang kupunya atas rasa mencintai sahabatku sendiri. Ah ... entahlah.
"Hey ... lagi ulang tahun jangan melamun."
Aku terduduk, sedikit tersenyum simpul menanggapi ujaran Aldo. Kulihat dia begitu sama duduk tepat di sebelahku. Kue tart yang telah habis setengah lilinnya masih di tangan Aldo. Aku hanya sedikit melirik sebelum kualihkan pandang pada rerumputan yang kuinjak. Kedua tanganku yang bertaut saling memainkan jemari. Sepintas kulihat Aldo menatap lekat, terlihat dari sudut pandangku.
"Mau bicara boleh?" tanya Aldo membuatku menoleh cepat.
Seketika kuangkat tangan menepuk pelan bahunya. "Jangan sok serius, sama sekali nggak cocok."
Anehnya Aldo hanya terdiam. Tak mengumbar tawa seperti di waktu sebelumnya.
"Ini memang lagi serius ya?" tanyaku pelan yang hanya dibalas diam olehnya.
Beberapa detik berlalu, Aldo menaruh kue tart di samping tempat dirinya duduk. Aku masih terus melihat tingkahnya sampai pada posisi berubah--yang tiba-tiba berdiri tepat di depanku.
Dahiku berkerut dalam, sementara Aldo masih tak henti mengejutkanku. Bagaimana tidak? Dia begitu saja berlutut di depanku, beserta setangkai mawar merah yang tak kuketahui pasti kapan dia mengeluarkannya.
"Aku suka kamu. Ah ... enggak, kurasa ini cinta. Entah sejak kapan, tapi kurasa ini sejak awal aku mengenalmu."
Mataku membulat. Nyaris seluruh jajaran saraf tubuhku kaku. Tak bergerak, tak bereaksi.
"Chel? Kamu denger aku?"
"Huh?"
Aku mengerjap. Kukira berulang kali. Masih ingin memastikan apa yang kupikir terjadi tujuh tahun lalu tak terjadi lagi di detik ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANALOVA
Short StoryKumpulan Cerita Pendek by : @arishaaap_ -Cinta adalah analogi semesta yang penuh tanya namun bermakna- Sudahkah temukan analogi cintamu?