BAGIAN 3 : AN OFFER

12 3 0
                                    


Mengapa aku terganggu oleh rintihan Mira? Sederhana. Aku dapat mendengarnya menyebut namaku sebelum kata 'tolong'. Apa jadinya kalau dua orang gila itu sadar bahwa aku masih hidup dan berpura pura mati kemudian mereka datang untuk menghampiri.

.

[BAGIAN 3 | AN OFFER]


[15 Mei 2017 | 08:17 PM]

"Jadi, gimana keadaannnya, Dok? Udah baikan apa belum?" Tanya seorang wanita dengan gelisah kepada seorang dokter sambil terus menggenggam tangannya.

"Sebentar lagi anak ibu bakal bangun, kok. Tekanan darahnya juga udah stabil, jadi nggak perlu khawatir," jawab sang dokter sambil berusaha melepas genggaman ibu Andri dari tangannya. 

"Saya tinggal dulu. Ntar kalau ada apa apa, suster saya datang kesini, kok," tambahnya lalu beranjak pergi keluar ruangan.

Terima Kasih banyak. Itulah yang terlukis di wajahnya ketika ia tak dapat mengungkapkan kata - kata. Dengan segera ia mendekati anaknya yang terbaring tak sadarkan diri diatas kasur rumah sakit, lalu memberikan kecupan halus di keningnya. 

"Cepet bangun ya, Ndri."


...


Sementara itu, kumpulan orang orang yang mengenakan berbagai macam seragam, lengkap dengan kamera, microphone, dan tape recorder sudah memenuhi area luar rumah sakit. Mereka memberikan berbagai macam pertanyaan kepada jejeran polisi yang menghalangi pintu masuk bagian depan yang disertai dengan tanda kuning garis polisi.

Di seberang gerbang rumah sakit, terdapat lampu jalan remang - remang yang menjadi tempat berteduh dari rintikan hujan malam bagi seorang pria lesuh yang mengenakan jaket jeans sobek sobek.

Air hujan membasahi celananya sampai area lutut. Sneakers hitam yang menjadi alas kakinya pun terbalut oleh lumpur basah yang kotor. Dari tempatnya berdiri, ia terus memandang kearah suatu kamar rumah sakit yang terletak di lantai tiga.


...


Di dalam kamar yang hangat, Ibunda Andri mengemas beberapa dokumen kedalam tas selempangnya. Ia meletakkan parsel berisi buah buahan diatas meja disebelah ranjang Andri terbaring. Dengan setelan jas bisnis yang rapi, ia beranjak keluar.

"Ibu pergi dulu ya, Ndri. Besok pagi, ibu kesini lagi," lirihnya sambil menutup pintu kemudian pergi.


...


"Anu, mas... ada keperluan apa, ya?" Tanya resepsionis rumah sakit dengan wajah curiga kepada pria lesuh dan kotor layaknya gelandangan yang baru saja memasuki rumah sakit dari pintu belakang. Namun, pria tersebut sama sekali tidak mengindahkannya. Ia hanya berjalan lurus menuju pintu lift  di pojok ruangan, meninggalkan sang resepsionis yang menelpon seseorang dengan was - was di belakangnya.


*Click! ~~

Tombol yang terpampang di dinding ia tekan untuk memanggil lift yang sedang berada di lantai tiga.

Tak lama, pintu lift pun terbuka. Di dalamnya, ia berpapasan seorang wanita karir dengan setelan rapi yang langsung keluar dari lift. Beberapa langkah kedepan, wanita tersebut menyampaikan salam kepada resepsionis di sampingnya, "Saya nitip anak saya Andri Deviandra ya, mba. Saya mau pergi dulu," ucapnya sambil melambaikan tangan dan terus berjalan menuju pintu belakang.

Dari dalam lift dengan pintu yang belum tertutup, senyuman menyeringai terlukis di wajah pria ini yang segera menekan tombol lift menuju lantai tiga. Pintu lift akhirnya tertutup, membawa pria ini naik keatas.

Sementara di lantai bawah, resepsionis  tadi melanjutkan telponnya

"Dia udah pergi ke lantai tiga."



*Tiing! ~~ 

Bel berbunyi.

Ketika sampai di lantai yang dituju, pintu lift terbuka, mengeluarkan seorang pria dari dalamnya. Di lorong rumah sakit yang lurus, ia terus berjalan. Dengan kedua tangan yang ia sematkan di saku celana basahnya, ia berjalan dengan santai dan terus menggumam tentang ayat ayat suci.

"Wahyu 12:9 : Dan naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan malaikat-malaikatnya."

Langkahnya terhenti ketika ia berada didepan pintu kamar bernomor 173. Di bawah nomor tersebut, terpampang sebuah nama.

Andri Deviandra.


...


[Andri's POV]

Sekarang, aku berada ditempat entah berantah. Tak peduli berapa kali aku memutar badan dan melihat sekeliling, hanya ruang hitam nan hampa yang dapat kulihat.

Aku berjalan ke sembarang arah, namun tempat ini layaknya tak berujung. Tak ada cahaya yang dapat kulihat dari kejauhan, namun aku bisa melihat daerah sekitar badanku selalu terang, seolah tempat ini tidak membiarkanku buta dalam kegelapan.

Berkali kali aku melihat hal hal aneh semenjak berada ditempat ini, seperti sebuah potongan memori yang selalu tiba tiba muncul dan tervisualisasikan dengan sangat nyata layaknya sebuah hologram, serta suara menggema yang terus mengatakan, "Andri, kamu bersalah."

Aku tak tahu, mungkin ini adalah dunia alam bawah sadarku. Mungkin saja tubuhku ini sedang tidak sadarkan diri, dan juga lemah tak berdaya. Yang aku tahu, aku sedang berada dalam situasi dimana aku tidak boleh bergerak sedikitpun.

Memang, aku sedang tidak boleh bergerak saat ini karena apabila aku bergerak sedikit saja, kemungkinan besar aku akan mati seperti beberapa orang yang kulihat belakangan ini. Tapi, bila harus jatuh dan kehilangan kesadaran, aku juga tidak menginginkan hal itu.

"Andri, elu masih sadar, kan? Tolong!" Teriakan meminta tolong dari Mira dan teman teman terus menggema ditempat gelap ini, mungkin ini adalah penjara mental bagi diriku yang sedang dipaksa oleh tempat ini untuk merasa bersalah.

"Kamu bersalah, kamu bersalah," Itulah yang terus terpikirkan olehku, seolah tempat ini berhasil melaksanakan tugasnya.



"Kamu mau kekuatan?" Tanya seseorang ditempat ini yang aku tidak tahu darimana asalnya, menjadi sebuah kalimat baru yang aku dengar setelah sekian lama.


...


[Author's POV]

Tanpa ragu, si pria lesuh langsung membuka pintu di hadapannya dengan berani. Kakinya ia langkahkan dengan cepat menuju seorang pemuda yang sedang terbaring di atas ranjang.

Tak jauh dari tempat Andri terbaring, sebuah bungkusan parsel utuh segera ia sobek untuk mengambil beberapa buah pisang didalamnya, membuka kulitnya dengan cepat, lalu menyantapnya dengan lahap.

Ketika ia berdiri di samping Andri, ia melepas jaket jeans basah kuyup yang sedari tadi ia kenakan, mengangkatnya sampai jarak jaket tersebut hanya sejengkal di atas wajah Andri, dan kemudian memerasnya sampai air yang mengucur mulai membasahi wajah pemuda tersebut. 

"Putri tidur, waktunya bangun, udah siang..." Ucapnya datar tanpa merasa bersalah atas apa yang ia lakukan.



"Kamu mau kekuatan?" Tanya pria tersebut sambil terus mengunyah pisang curiannya.

Under the MoonlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang