"Baiklah, kita mulai sekarang, ya. Siapa kira-kira yang mau jadi ketu—"
"Arkan, Pak!" sahut Mamat keras sebelum Pak Derga sempat menyelesaikan kata-katanya.
Arkan terkejut. "Lah, gue!?" ucapnya tak terima.
"Iya, Pak, dia katanya mau belajar jadi pemimpin. Biar nanti kalo udah berkeluarga bisa jadi pemimpin yang baik," ucap Diko melucu. Lebih dari satu orang tertawa, yaitu Mamat dan Diko sendiri.
"Arkan, mau?" tanya Pak Derga, berjalan maju dan berhenti di salah satu meja paling depan, meja Mita. Membuat gadis itu mati-matian menahan mulut agar tak berteriak senang.
'Hihi gue bisa liat Pak Derga dari deket banget. Adsghdkshskfgjhs.' Begitu kira-kira isi hati dan pikiran Mita.
Bukannya langsung menjawab, Arkan justru memandangi teman-temannya. Pak Derga yang paham maksud gerak-gerik Arkan lalu berkata, "Kalian setuju kalau Arkan jadi ketua? Atau ada yang ingin jadi ketua juga? Biar nanti kita voting."
"Bisa diandalkan nggak sih anaknya? Diliat-liat kok dia aja kayak nggak punya semangat hidup gitu," kata Kara, mendekat pada Ghea.
Ghea memandang Arkan. Jika dilihat-lihat memang Arkan ini seperti orang yang tak punya semangat hidup. Bawaannya setiap hari ngantuk, nge-blank. Ghea kembali memandang Kara.
"Gue kemaren kelas sepuluh bareng dia. Anaknya gitu-gitu bertanggung jawab kok," ucap Ghea yakin.
"Gimana? Setuju Arkan, atau ada lagi yang mau mencalonkan diri?" tanya Pak Derga sekali lagi.
"Arkaaan!!!" Sebagian besar menyebutkan nama itu. Ada yang memang benar-benar setuju, ada juga yang ikut-ikut saja karena takut namanya lah yang justru diajukan untuk menjadi ketua kelas.
"Shanindya?" sebut Pak Derga, melihat Anin yang sejak tadi hanya diam tak bersuara.
"Hn?" Anin tersadar dari diamnya.
"Kamu setuju tidak kalau Arkan jadi ketua kelas?" kata Pak Derga, berpindah ke depan meja Anin. Mita menghela napas kecewa setelahnya.
Anin dan Arkan saling tatap dengan pandangan tak terbaca oleh yang lain. Lalu Anin hanya mengangguk sebagai jawaban bahwa ia setuju.
"Setuju, ya, ketua kelasnya Arkan?" kata Pak Derga diangguki serempak oleh para murid. "Sekarang wakil ketua. Mau cowok lagi atau ceweknya ada yang mau?"
"Cewek aja, Pak. Biar bisa mengimbangi. Cowok emang harusnya didampingi cewek, Pak, biar nggak salah langkah. Tapi ceweknya yang bener, ya, Pak. Jangan yang suka menghianati," ucap Bima, perlahan jadi galau.
Tak jauh dari tempat Bima duduk ada Gilang yang langsung melempar penghapus pada Bima. Menyadarkan sahabatnya tersebut untuk tak terus berlarut dalam kegalauan.
"Mada aja, Pak. Dia seneng kalo jadi pasangannya Arkan," celetuk Mamat langsung dibalas tatapan tajam oleh Mada.
"Jadi wakil ketua enak nggak sih, Ju?" tanya Mita, mencondongkan tubuhnya pada Juwi.
Juwi mengerutkan keningnya. "Lah, mana saya tau. Seumur-umur gue sekolah juga gue nggak pernah jadi pengurus kelas," katanya menerawang jauh.
"Kayaknya enak kali ya, Ju," balas Mita membayangkan.
"Iya kali," sahut Juwi tak peduli. "Eh? Mita mau, Pak, jadi wakil ketua!" kata Juwi cepat.
"Hah? Eh, nggak, Pak, nggak!" sahut Mita gelisah.
"Iya, Mita aja. Dia klop, Pak, kalo sama Arkan," kata Mamat yang sepertinya memang tahu tentang semua hubungan orang lain.
"Iya, tuh. Lo kan sama Arkan dah kayak Upin Ipin, pasti nyambung," sahut Diyan yakin sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
2A1: NO RIBUT, NO LIFE!
Fiksi Remaja❛❛Ketika realita tak seindah ekspektasi ya begini jadinya, kayak 2A1.❜❜ Pandangan yang amat baik ternyata tak sejalan dengan kenyataan yang ada. Orang lain menilai 11 IPA 1 adalah kelas terbaik, namun pada nyatanya kelas tersebut tak sebaik penilaia...