8 Acht

655 107 13
                                    

Wooseok berjongkok untuk meraih sekaleng soda dari vending machine yang ada di ujung koridor lantai tiga gedung fakultasnya. Udara dingin malam ini seperti haus akan tempat dan menyergap setiap sudut bercelah.

Hasil presentasi yang sudah disiapkan tiga hari lalu berjalan seperti harapan Kim Yohan. Wooseok dan Hangyul berlagak seperti tidak saling kenal tapi bisa bekerja sama dengan baik.

Wajar saja untuk Hangyul bersikap dingin pada orang yang dengan kurang ajar memukulinya sampai dia dapat beberapa memar dan goresan di seluruh wajah. Tapi tidak untuk Wooseok. Cowok itu benar-benar mengabaikan Yohan dan memamerkan aura apatis dengan angkuhnya.

Beruntung Yohan adalah malaikat tak bersayap yang tak akan menonjok seseorang bernama Kim Wooseok yang wajahnya sangat ingin ditonjok.

Hanya butuh beberapa kali tenggak bagi Wooseok untuk bisa menghabiskan sodanya. Dia meremas kaleng silinder itu di genggaman sebelum di jatuhkan ke tanah dan ditendang keras. Mengabaikan keberadaan tempat sampah bertuliskan 'anorganik' di sebelahnya berdiri.

Peduli setan tentang aturan murahan yang tidak berguna untuk membuang sampah pada tempatnya, bagi Wooseok itu hanya untuk pecundang tidak berguna yang hanya tau tentang kemudahan hidup dan menarik nafas tanpa beban.

Dari kemarin malam pikirannya tidak baik-baik saja. Sesuatu mengusiknya. Sesuatu tentang Song Hyungjun. Sesuatu yang membuatnya berfikir bahwa anak itu menyembunyikan perasaan takutnya dibalik wajah lugu itu. Wajah yang bahkan tidak bisa menunjukkan penolakan pada ajakan sang ayah.

Wooseok merogoh tas punggung yang tersampir di lengan tangan kanan. Mengeluarkan kunci motor dan berjalan ke arah lapangan parkir. Untuk hari iniㅡ dan dua hari yang akan datangㅡ dia akan langsung pulang. Dia tidak akan mampir ke rumah mewah untuk mengajari anak lugu yang suka minta dipeluk atau dicium tanpa malu. Wooseok hanya harus terbiasa.

Karena nyatanya itu tidak mudah. Dia sudah terjatuh. Jatuh terlalu dalam pada senyum manis anak yang tak punya kebebasan. Jatuh terlalu dalam sampai tak ada jalan keluar.

Sesuatu menyentuh pundaknya, dan saat Wooseok menoleh ke belakang...

Bugh

...dia dapat satu tinju tiba-tiba dari Lee Hangyul.

"Kaget?"

"Apa?"

"Gue tunggu sampai presentasi selesai cuman buat ngasih lo hadiah. Gimana dong? Boleh ya?"

Wooseok memegangi sudut bibirnya yang pecah dan terasa panas. Tersenyum singkat, dia membuang tas punggung yang tersampir di lengannya ke atas kap mobil seseorang di lapangan parkir. "Mau gue kasih tau sesuatu?"

Sebelah alis Hangyul terangkat. "Tentang pilihan mau tonjok atau tendang? Boleh aja, gue pinter dua-duanya."

"Bukan. Ini tentang ambisi ngga guna lo. Gimana kalau jangan sekarang? Jangan malam ini, sob. Gue lagi kacau. Nanti malah hilang kendali."

Hangyul tertawa seolah yang Wooseok katakan adalah komedi murahan. "Jangan bilang lo mikir kalau gue takut? Gue mana peduli mau lo hilang kendali atau lo dalam kendali." Hangyul melangkah mendekati Wooseok dan melayangkan tinju kedua. Berhasil membuat Wooseok tersungkur ke belakang.

Kaki panjang Hangyul menendang keras batu kerikil di depannya dan mengenai pelipis Wooseok sampai mengeluarkan darah.

Hangyul tersenyum puas saat Wooseok menggeram tertahan dan bangkit berdiri.

"Jangan nyesel kalau rasanya lebih enak daripada yang pertama." Wooseok mengusap aliran darah agar tidak mengenai mata.

"Bacot sat!" Hangyul melayangkan tinju ketiganya.

EINSERZ | CatLemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang