10

828 130 2
                                    

Alivia menjumpai mimpi terburuk. Makhluk itu bisa mewakili seluruh mimpi buruk dari yang paling nista. Hadirin terkesiap, masing-masing menahan napas—menunggu.

Psoglavac,” Eru membisikkan jawaban yang dibutuhkan Alivia. “Pemakan bangkai.”

Makhluk yang disebut sebagai psoglavac itu memiliki wujud sarat akan kematian. Kedua kaki serupa milik kuda; kokoh menopang berat badan. Tubuh  menyerupai manusia berotot pejal. Kepala bak anjing dengan satu mata terletak tepat di antara hidung dan kening. Air liur menetes ketika psoglavac menggeram. Berdiri menjulang bagai raksasa, hidungnya mulai berkedut mengendus aroma.

“Makhluk itu akan memangsa apa pun yang berada di arena.” Alivia seakan merasa tikaman belati tepat di dada. “Seseorang harus menghentikannya.”

“Jangan meremehkan dia.”

Alivia tahu “dia” yang dimaksud Eru ialah, si manusia. “Kalian mengadu manusia dengan monster?”

Eru menggeleng. “Mereka mengadu monster dengan monster.”

Psoglavac tak lagi membaui. Dia menatap langsung ke lelaki yang berada tepat di arena. Bulu-bulu di kepalanya menegak sementara kuku-kuku hitam mencuat keluar dari persembunyian.

Hadirin berseru. Euforia membanjir, mengirim semangat ke setiap orang. Lelaki yang dipersembahkan mati kini tak lagi memperlihatkan kepasrahan. Ia berdiri tegap, kepala terangkat, pandangan mata menatap lurus psoglavac. Siap bertempur.

Auman berkumandang. Psoglavac tanpa ragu langsung memburu lawannya. Dia berlari kemudian melompat, begitu tingginya hingga hadirin terkesiap—cemas  psoglavac akan jatuh ke balkon dan mengincar mereka, dan mengayunkan tangan berkukunya.

Alivia yakin kematian telah tiba. Tubuhnya kaku menyaksikan psoglavac berdiri mematung.

Telapak tangan psoglavac ditahan oleh si lelaki. Ia menatap murka kepada psoglavac, tak peduli desis serta geraman si pemakan bangkai. Psoglavac berusaha menggigit kepala, namun si manusia berhasil mengelak kemudian mendorong mundur hingga psoglavac meraung.

“Dia tidak seperti yang terlihat,” Eru menjelaskan. “Aduan ini dibuat bukan sekadar keperluan bersenang-senang, wahai anak manusia.”

Lelaki itu merunduk. Perlahan-lahan mulutnya memanjang hingga membentuk moncong dengan deretan gigi setajam belati. Kulit pun memerah, setiap otot dan rangka tulang seolah ditarik dan membentuk ulang fondasi baru. Kain koyak, menampakkan kulit yang kini tertutup bulu berwarna hitam. Kuku-kuku menajam. Telinga meruncing. Mata nyalang.

Lycan....” Ingatan makhluk berbulu perak menerjang Alivia. Gigilan pun tak sanggup disembunyikan. Kematian pernah menyentuh. Dia tak mungkin lupa sensasinya. “Dia ... lycan?”

“Salah satu yang terbaik.”

Psoglavac dan lycan memiliki kengerian serupa. Di mata Alivia keduanya tidak ada bedanya. Anjing pemakan bangkai.

Lycan hitam meraung, kedua kaki depannya mencakar arena hingga meninggalkan guratan memanjang. Kedua telinganya meruncing ke belakang, siap menerjang. Mulut psoglavac menampilkan seringai, ia pun menginginkan pertempuran.

Keduanya baku hantam. Kuku beradu kuku. Saling dorong. Siap menerkam. Psoglavac memanfaatkan berat tubuhnya guna menekan serigala ke arena, berkali-kali ia meloncat kemudian mendarat di lahan kosong sebab lycan tak kalah gesit menghindar. Kepala lycan menatap psoglavac yang tak ubahnya anjing gila. Otot-otot di tubuh psoglavac berkedut saat ia mengejar lycan.

Kali ini lycan mengincar leher psoglavac. Tanpa ragu ia membenamkan taring ke dalam daging yang terasa alot. Darah mengucur seiring lolongan psoglavac. Lycan tidak peduli cakar yang kini menyasar sisi samping tubuhnya. Ia berjuang memperdalam benaman taring ke leher dan acuh saat psoglavac meronta, menghantamkan tubuh ke pinggir arena dan membuat lycan menahan nyeri saat tulang-tulangnya berderak.

Nocturne (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang