1

5.3K 373 67
                                    

Ada arakan melintasi hutan menembus selimut malam. Empat kuda hitam berbaris bersisian; setiap pengiring mengenakan jubah hitam bertudung, diperlengkapi senjata belati serta pedang tersimpan rapi dalam sabuk. Mereka mengenakan sarung tangan kulit guna melindungi jemari dari serangan dingin. Setiap penunggang menatap awas ke depan. Empat wagon, masing-masing ditarik sepasang bagal, mengikuti barisan pertama. Lalu, dua pengiring mengekor di belakang wagon.

Cahaya bulan berpendar menerangi jalanan. Kerikil mengharuskan rombongan memperlambat tempo. Para pengiring diwajibkan mengantar budak darah, sebutan bagi manusia yang dijadikan komoditas dagang oleh kaum vampir, sampai ke kota utama dalam keadaan utuh. Manusia berjenis kelamin perempuan dalam rentang usia antara lima belas hingga 25 menjadi incaran pembeli. Setiap wagon ditempati lima manusia. Kebanyakan di antara mereka mengenakan pakaian lusuh, dekil, dan tidak sedap dipandang. Satu-satunya yang menjadi alasan mereka layak dijadikan barang dagangan ialah, daging dan darah. Setibanya di kota utama mereka akan dipelihara, dipercantik, dan langsung diserahkan ke vampir kelas bangsawan.

Udara malam terasa menggigit. Suara serangga berdeng ung silih berganti saling menyemangati. Tapak kaki kuda dan bagal bergemeletuk ketika menginjak kerikil, sebagian terbenam dalam tanah, yang lain terbelah, dan sisanya meloncat ke pinggir jalan. Tidak ada satu pun dari pengiring yang menyuarakan pendapat mengenai aroma tengik yang tercium di udara. Kabut tipis mulai merayap naik melewati celah perbukitan di bawah mereka. Seperti tangan-tangan penyihir tua, satu demi satu mencengkeram cabang pohon; meninggalkan tanda lembap, kemudian lenyap saat bersentuhan langsung dengan kulit-kulit makhluk hidup.

Salah seorang gadis yang terkurung dalam wagon berusaha mencari sedikit kehangatan. Alivia.... Nama yang diberkati pendeta. Alivia.... Dia menekuk kaki hingga lututnya menyentuh dagu, punggung bersandar pada jeruji sedingin es. Alivia.... Bayangan sekitar mulai membentuk sosok bungkuk. Goblin berhidung bengkok. Jembalang tua penipu. Raksasa penghuni keji. Alivia.... Sinar rembulan menyentuh helaian rambut berwarna jahe, namun kini warna itu seakan meluruh seperti lelehan kayu manis. Alivia.... Dia mencium aroma tengik.

Alivia....

Alivia merin dukan nama sejatinya. Dia tidak mengerti konsep dunia. Kehidupan milik manusia maupun vampir seharusnya tidak menjadi alasan kedua pihak membenarkan kejahatan. Manusia dipecundangi kaum vampir. Perang tercetus. Dia tidak bisa menyuarakan keberatannya kepada siapa pun.

Era kehidupan Alivia bukanlah milik manusia melainkan vampir. Kerajaan manusia dihancurkan, manusia sibuk menyelamatkan diri tanpa memikirkan sesama, dan sisanya bersembunyi.

“Theo, sampai kapan kita akan hidup seperti ini?” Suatu hari Alivia mengungkapkan kegundahannya. Gadis itu baru berusia sepuluh tahun. Bocah cilik yang merindukan bermain tanah lempung dan merangkai bunga. “Seperti apa rasa kebebasan? Theo, katakan kepadaku, cara hidup sewajarnya.”

“Sampai seseorang memenggal kepala Raja Lalim,” Theo menjawab.

Bocah lelaki yang usianya lebih tua lima tahun dari Alivia itu merupakan satu-satunya manusia yang masih berpikir waras. Mereka berdua dibesarkan di sebuah area khusus. Mereka hidup bersama anak-anak manusia yang dipilih kaum vampir untuk diasuh serta dididik sebagai pekerja. Apabila mereka, anak-anak terpilih, menunjukkan loyalitas, maka setidaknya mereka akan dipekerjakan di kerajaan vampir maupun kota utama.

Akan tetapi, seiring bertambahnya usia, Alivia pun menyadari bahwa tidak ada manusia yang bisa memenggal Raja Lalim. Tokoh tersebut hanyalah rekaan, kedzaliman berwujud fiktif, dan siapa pun bisa mewakili penggambarannya.

Theo dan Alivia tidak ditakdirkan hidup bersama. Alivia berakhir sebagai budak sementara Theo....

Alivia tidak ingin mengingat Theo.

Nocturne (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang