Jangan lupa vote dan komen ya ; )
____________________________________________¤¤¤ HAPPY READING ¤¤¤
"Tidak seharusnya kita menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah"
____________________________________________
Sore ini hujan turun lagi. Seperti sore-sore yang lalu. Menyenangkan. Membuat suasana di luar terlihat damai menentramkan. Tidak deras. Hanya gerimis. Namun cukup membuat aroma petrichor menusuk indera penciuman.
Sebuah mobil terlihat memasuki area pemakaman mewah, San Diego Hills. Pemakaman luas dengan dominasi pemandangan hijau yang menghampar. Kawasan ini dipenuhi oleh rerumputan yang rapi, taman yang asri, air mancur lengkap dengan patung-patung yang bernilai seni tinggi. Dan beberapa fasilitas lain yang disediakan pengelola, salah satunya restoran bintang lima, yang terkenal lezat hidangannya. Tentu saja, hanya orang-orang berduit yang memilih menyemayamkan raga disini, selepas jiwa kembali ke pelukan pemilik semesta.
Sore ini, pemakaman tidak begitu ramai oleh peziarah. Gerimis dan hujan, memang bukan pilihan tepat untuk dinikmati di tengah pemakaman, karena mungkin saja justru akan menambah kedukaan bagi mereka.
Setelah mobil itu berhasil parkir dengan apik, dari pintu penumpang keluar seorang pria, dengan setelan jas warna hitam, lengkap dengan sepatu pantofel mengkilap yang membungkus kakinya.
Lihat, tujuh tahun, wajah itu sedikit pun tidak berubah. Garis-garis dewasa dan matangnyalah yang terlihat menebal, tegas. Ia menyembunyikan sepasang mata sehangat kayu miliknya dibalik kacamata hitam yang ia pakai.
Langkahnya tegap menyusuri jalan setapak. Menerobos rintik hujan yang menerpa wajah tampannya, karena jatuh bersamaan dengan datangnya angin dari arah yang berlawanan. Namun, langkahnya tiba-tiba pelan, ketika tinggal beberapa langkah lagi sampai di pusara yang ia tuju.
Pria itu seakan membawa banyak beban, dan luka untuk sampai di tempat ini. Sorot mata penuh kerinduan yang ia sembunyikan di balik kacamata hitamnya, yang membuat ia bertekad penuh untuk kembali menginjakkan kaki ke pemakaman ini, kali kedua.
“Aku datang.” Lirih, suaranya tercekat.
Ia menunduk, diam takzim. Melafal sebait doa.
Selang beberapa menit, tangan kanannya terulur meletakkan setangkai mawar kuning di atas pusara. Garis bibirnya terangkat, sedikit, tersenyum tipis. Mengingat jika tindakannya tersebut pasti akan membuat orang terkasihnya, mengomel sepanjang hari jika ia masih ada. Ya, ia tahu betul bunga bukan pilihan yang tepat untuk diberikan kepadanya.
Tangannya kembali terulur, mengusap lembut ukiran nama di batu nisan, sambil berbisik pelan, lirih sekali, bersamaan dengan desau angin yang berhembus menerpanya disertai rintik hujan yang tak kunjung reda.
“Aku pamit.”
Butuh waktu tujuh tahun untuk ia berdamai dengan kenyataan, memilih menepi, hidup jauh di tanah kelahiran sang ayah. Pada akhirnya hidup harus terus berlanjut dalam bentuk apa pun, bukan.
Ia lalu beranjak tepat saat angin kembali berhembus lembut, daun pohon kamboja berguguran. Satu helai jatuh di pundaknya. Gerimis sore ini turut andil membekukan seluruh perasaannya.
Ditambah dering telepon genggam yang ia angkat tanpa peduli siapa yang menghubunginya. Tubuhnya kaku, saat suara yang amat ia kenali menyapanya diseberang sana.
"Layv ..,
***
Aku, dengan cerita yang baru, semoga kalian suka.
30 Agustus 2019

KAMU SEDANG MEMBACA
SHACKLES
Roman d'amourAku adalah rasa yang membelenggu dari masa lalu yang memilukan.