Lembar Kedua

274 33 5
                                    

Gulali Merah

-o0o-


"Yaaah, dapet bom!"

Gia menghembuskan nafas panjang, diiringi dengan bahunya yang merosot. Setiap kali ia membeli gosok-gosok bom, ia tidak pernah berhasil menang. Selalu saja ada bom yang ia gosok.

"Yahahaha, udah dibilangin jangan gosok yang itu, malah digosok!" Regan tertawa dengan keras melihat wajah Gia yang tertekuk.

Gia semakin mendengus kesal mendengar ledekan Regan. Sementara Bara masih dengan cermat menatap kertas berukuran kecil di tangannya. Ia memegang ujung kertas itu, lalu menghadapkannya ke langit. Ia menyerngit dan menyipitkan matanya. Kemudian, tangannya menitik salah satu lingkaran dan menggosoknya. Di kemudian saat, Bara tersenyum tipis. Sangat tipis. Setelahnya, ia beranjak menuju om-om penjual mainan gosok itu. Gia sampai tak sadar jika Bara sudah berdiri di sampingnya dengan tangan yang menggenggam gulali merah. Ia terlalu kesal dengan Regan, sampai-sampai Regan yang tengah memilih-milih gangsing pun ia ganggu.


Bara menyodorkan gulali-nya kedepan Gia. Gulali itu adalah hadiah yang berhasil ia dapat dari gosok-gosok bom tadi. Kedua mata Gia melebar begitu melihat gulali merah menggiurkan yang tersodor di depannya. Ia menoleh ke belakang, menatap Bara dengan binar senang. "Buat Gia?" tanyanya.

Bara mengangguk. Sejurus dengan itu, Gia melompat dan berteriak dengan senang. Kemudian ia menyambar gulali itu dan memasukkannya ke dalam mulut. Tak lupa mencubit pipi kanan Bara sembari berujar terima kasih. Sementara Regan, bocah nakal itu mengerucutkan bibirnya lantaran melihat Gia yang tak lagi mengganggunya.

- Trisagis -

Satu tahun. Satu tahun sudah Gia berteman dengan Regan dan Bara. Tetap seperti di awal. Regan adalah si jahil dan berisik. Sementara Bara, ialah si kaku nan beku. Tapi meski begitu, dengan keduanya, Gia mengerti apa itu bahagia. Mengerti bagaimana rasanya memiliki seseorang. Mengerti bagaimana rasanya diperhatikan. Mereka masih kecil, Gia tau akan hal itu. Namun, entah kenapa, Gia merasa ia benar-benar tidak akan bisa menjalani hari tanpa kedua sahabatnya itu. Regan dan Bara sudah seperti tiang-tiang besar yang menopang hidupnya.

"Gendut, minta cikinya, dong!" Anggara mengulurkan tangan. Gadis kecil yang dipanggil gendut olehnya meringis takut, kemudian menyerahkan ciki yang ia genggam. Selanjutnya, Anggara berlalu pergi dengan membawa sebungkus ciki itu.


"Kalau minta itu sedikit. Kalau dibawa semuanya itu namanya ngerampok!" teriak Gia di tengah-tengah pintu.

Ia baru saja kembali dari belakang sekolah. Sehabis membeli mainan bersama Regan dan Bara. Lalu, ketika sampai di kelas, ia melihat Anggara yang mengganggu Eva, lagi. Anggara itu teman sekelas Gia, yang entah kenapa suka sekali mengganggu Eva. Gia tak suka melihat temannya diganggu, apalagi oleh Anggara. Menurutnya, Anggara itu sangat-sangat menyebalkan.

"Eva-nya aja nggak protes, kok. Sana, minggir!" bentak Anggara di depan Gia. Gia merasa kesal mendengar jawaban dari Anggara. Mentang-mentang Anggara cowok dan Gia cewek, jangan harap Gia akan takut pada Anggara.

Gia lantas menatap sinis kearah Anggara. Ia semakin berdiri dengan tegak di tengah-tengah pintu. Memblokir jalan.
"Balikin cikinya Eva!" teriaknya.

TrisagisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang