Es Krim Triple
-o0o-
"Anak itu berulah lagi, kan, Ma? Udah Yesi bilang, dia itu nakal!"
"Cukup Yesi, cukup! Dari dia berumur lima tahun, Mama yang didik dia. Mama yang ngerawat dia. Mama percaya sama didikan Mama. Gia itu anak yang pintar. Dia mandiri dan cerdas!" Oma Erma membantah. Ia menggenggam ponselnya dengan erat. Telinganya tak ingin lagi mendengar ucapan buruk dari putri kedua-nya itu.
"Selama ini, Mama nggak pernah ngeraguin hasil didikan Mama. Tapi semenjak kamu kasih Gia ke Mama dan nggak peduli lagi sama putrimu sendiri, sejak saat itu juga Mama sadar..." Oma Erma menjeda ucapannya sendiri. Sementara Yesi di seberang sana hanya diam tak berkutik mendengar ucapan sang Mama.
"Mama sadar, kalau kamu adalah satu-satunya hasil didikan Mama yang gagal!" setelah mengucapkan itu, Oma Erma mematikan sambungan panggilan di ponselnya.
Gia terdiam di balik dinding. Ia mengintip sang Oma dengan diam. Gia mendengar semuanya. Ibunya menelpon. Tapi bukan untuk menanyakan kabarnya. Ibunya menelpon karena dirinya yang telah memukul Anggara tadi siang di sekolah. Dari suaranya, Gia tau Ibunya tengah marah. Tapi, bukankah yang dilakukan oleh Gia itu benar?
"Gia, kan, cuma bela diri," cicitnya.
- Trisagis -
Pagi harinya, Gia dengan bersemangat menenteng tas selempang miliknya di bahu kanan. Ia tersenyum dengan cerah menyusuri koridor sekolah.
"Selamat Pagi, temen-temen!" sapa Gia bersemangat ketika telah sampai di kelasnya.
Bertolak belakang, teman-teman Gia justru menyingkir satu-persatu dari hadapan Gia. Gia menatap bingung. Ia kemudian beranjak menuju bangku Eva, hendak menyapanya. Tapi belum saja sampai, Eva sudah beranjak pergi. Gia semakin dibuat bingung. Mereka ini sebenarnya kenapa?
- Trisagis -
Gia memainkan jarinya dengan bibir yang manyun. Bara menyenggol Gia, kemudian memberikan sebuah kartu bergambar power-ranggers padanya.
"Kenapa?" tanya Bara.
Gia menoleh penuh kearah Bara. Matanya sedikit melebar. "Barusan Bara ngomong?" tanya Gia kaget. Bara menjawab dengan anggukan kepala. Bukannya menjawab pertanyaan Bara, Gia malah kembali menunduk.
Sementara Regan berlari dari arah kantin dengan menenteng bungkusan es krim di tangannya. Ia kemudian mengambil duduk di sisih kiri Gia. Ketiganya sedang berada di belakang gedung sekolah. Duduk berjajar rapi di bawah pohon mangga.
"Gia nggak apa-apa. Gia cuma bingung aja, kenapa temen-temen di kelas jauhin Gia," ujar Gia, bermaksud menjawab pertanyaan dari Bara. Regan hanya mengangguk-angguk saja. Ia pun dengan segera membuka bungkusan es krim triple-nya. Kemudian memegang tusuk es krim sebelah kiri.
"Pegang," pinta Regan pada Gia dan Bara.
Gia pun memegang tusuk es krim yang di tengah dan Bara memegang tusuk es krim sebelah kanan. Selanjutnya, mereka saling menarik tusuk es krim mereka, hingga terdengar bunyi 'tak'. Dan es krim itu pun berubah menjadi tiga potong.
"Makan aja, aku traktir," ujar Regan. Gia dan Bara lantas berucap terima kasih dan ketiganya pun menikmati es krim itu dengan diam.
Regan melirik kearah Gia yang masih tetap cemberut. Padahal, Regan sudah membelikan Gia yang manis-manis. Dulu, Bara pernah memberikan Gia gulali merah dan Gia terlihat sangat bahagia karena itu. Tapi, sekarang...
"Gia nggak usah sedih. Disini, kan, ada aku sama Bara yang bakal nemenin Gia terus sampe gede nanti," ujar Regan menenangkan. Ia tadi juga melihat jika teman-teman sekelasnya menjauh dari Gia. Entah kenapa.
Dengan singkat, Gia menoleh kearah Regan. Menatap Regan dengan binar senang. "Beneran?" tanya Gia. Yang langsung diangguki oleh Regan.
"Regan janji nggak bakal jauhin Gia kayak yang lain?" tanya Gia lagi. Yang lagi-lagi diangguki dengan semangat oleh Regan. Regan kemudian mengacungkan jari kelingkingnya, sebagai bukti janji. Setelahnya, Gia beralih menoleh kearah Bara. Tanpa ditanya lagi, Bara mengangguk. Lalu ikut mengacungkan jari kelingkingnya. Kini, ada dua jari kelingking dihadapan Gia. Dua jari kelingking, dua buah janji. Gia tersenyum dengan lebar. Lalu mengangkat jari telunjuk kirinya, dan menempatkannya diantara kelingking Regan dan Bara.
- Trisagis -
Jadi, sejak hari itu, Regan dan Bara resmi menjadi satu-satunya teman yang ku punya. Eva, Tio, Ririn, Sela, semua teman-teman di kelas menjauh. Mereka takut kalau aku akan memukul mereka seperti aku memukul Anggara. Dan Anggara sendiri, setelah insiden itu, ia pindah sekolah. Aku berani menebak jika Mama-nya lah yang telah memaksa Anggara untuk pindah. Aku juga tak pernah menyangka sebelumnya jika Mama Anggara ternyata adalah pegawai di butik Oma. Kadang, dunia memang sesempit ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trisagis
Teen Fiction[ LAGI REVISI PENUH ] Gia tak pernah membayangkan akan berpisah dengan kedua sahabatnya. Tanpa Regan dan Bara, ia seperti bukan apa-apa. Ini bercerita mengenai Trisagis. Tiga orang baik, di tengah semesta yang sadis.