Langit mendung, sudah sejak 2 jam tadi. Tapi hujan belum juga mau turun. Beberapa orang sibuk menurunkan rumput dari sepeda jengkinya. Beberapa lagi sibuk menenteng belanjaan dari warung, khas ibu ibu. Anak anak kecil bermain bulutangkis di jalan, sesekali minggir apabila ada kendaraan akan melintas.
16.50, di sebuah kedai kopi pinggiran perkebunan Kalibendo. Suhu jatuh di 22 derajat, lebih hangat dari biasanya.
Tidak ada yang aneh dari kedai ini, beberapa pengunjung asing terlihat memotret seorang penggoreng kopi. Iya, disangrai. Kopinya digoreng di atas tungku kayu. Beberapa lagi sibuk berselfie untyk kebutuhan instastory. Disebuah bangku untuk 3 orang, pinggir jendela yang viewnya adalah hamparan pohon mahoni dibawah jurang setinggi kira-kira 20m. Dua orang tengah duduk membicarakan pertemuannya yang ketiga kali.
"Enak banget cuacanya, adem" seru Indra meneguk kopi espresso dimejanya, sekali teguk saja.
Nonin mengangguk, pertanda iya.
"Gimana skripsinya?"
"Seminggu lagi saya sidang"
"Really?"
Nonin hanya mengangguk, biar kuberi tahu rasasia. Sejujurnya, nonin salting. Sepanjang jalan Asti menggodanya.
"Boleh kuberi hadiah?"
Nonin membuka mulutnya "hah?"
"Iya. Tapi bukan barang. Bukan puisi, eaaa"
Nonin tersenyum.
"Aku serius"
"Terus?"
"Petualangan"
Nonin melihat Indra sambil menyedot es cappucinonya.
"Ayo mendaki"
Nonin berhenti meminum esnya. Sekarang ia terbelalak. Ini kenapa Indra bisa tau bahwa ia suka mendaki? Pertanyaan pertemuan saja belum terjawab, ini malah ada pertanyaan lagi.
"Aku tau mbak Nonin suka mendaki. Karena saat pertemuan kita, ingat dengan Hp sampeyan yang tertinggal? Eh tapi aku ga buka hp mbaknya kok. Hp mbak nonin tertinggal dalam keadaan belum terkunci. Dan masih dalam kolom facebook, sebuah grup" ia diam sebentar menghisap rokok "Makanya aku bisa tahu nama mbak nonin, tapi karena aku waktu itu tidak pakai facebook jadi iseng aja cari di ig. Eh, ketemu" ucap Indra cengengesan menjelaskan, membuat pertanyaan yang kali ini terjawab lebih cepat. Iya, pertanyaan mengenai kenapa Indra tiba tiba menceritakan pendakiannya ke Argopuro waktu itu dengan suara lantang.
"Kemana?" ucap nonin memberanikan diri, lebih ke penasaran.
"Pemanasan dulu, gimana kalau Semeru?"
Nonin tertawa.
"Pemanasan kok ke Semeru", "Ranti aja dulu gimana?"
"Semeru kan yang berat pas summit attacknya aja mbak?"
"Iya sih, padahal start pendakian dari Ranupani aja sudah 2000an Mdpl ya", "jangan keras keras soal ini, nanti mereka kecewa kalau ternyata mendaki bukan hanya soal ketingian mdplnya saja" keduanya tertawa. Yang dimaksud adalah, kau tahu semeru? Siapa sih yang tidak tahu bahwa Semeru adalah gunung paling tinggi di Jawa? Tidak ada yang bisa mengelak soal keindahan semeru, sungguh. Hanya saja banyak yang terlalu jumawa. Padahal, pendakian juga harus dihitung dari awal mula titik pendakian. Baik, ini skip. Kita dengarkan lagi Indra dan Nonin.
"tapi tetap saja itu akan berat. Saya hanya pendaki online mas" bela nonin.
"Yakin tidak tertarik dengan Ranukumbolo?"
Nonin kali ini tertawa, menyengir membuat gingsulnya terlihat. Ia jadi lebih manis dengan jilbabnya yang berwarna coklat.
"Saya memang ingin pergi ke Ranukumbolo. Tapi apa tidak terlalu cepat?"
"Sudah ke Ijen berapa kali?"
"Baru 5x"
"Itu sudah cukup untuk latihan. Nanti, 2 minggu sebelum pendakian, latihan fisik dulu. Makan makanan yg bergizi"
Nonin menggigit bibirnya kali ini.
"Apa mas Indra sudah yakin saya tidak akan merepotkan sepanjang pendakian?"
Indra menghisap rokoknya lagi, mengeluarkan asapnya.
"Kalau merepotkan aku tinggal, beres" katanya memainkan rokok di jemarinya.
"Ih..." nonin mencubitnya sambil tersenyum.
Godaan indra kembali membuat Nonin terlihat cantik. Bola dan bulu matanya seperti diciptakan sengaja untuk Indra saja, tapi ini menurut penulis. Belum tahu apakah tuhan pun demikian.
Indra mengambil bolpoin di slempangnya yang ia taruh pada kursi sebelah kiri diantaranya dan kanan diantara Nonin, "minta kertas mbak" nonin agak kaget karena tiba tiba.
"Jangan bilang sampean tidak bawa buku saat ke kampus tadi. Mau jadi apa?"
Nonin tertawa, buru-buru merogoh tasnya ditempat yang sama dengan Indra menaruh slempangnya. Mencari binder, merobek kertas, memberikannya pada Indra.
"Punya sepatu gunung?", nonin mengangguk.
"Kalau tasnya?"
"Ada, hanya 45 liter"
"Oke gapapa. Emang mau yang 70 liter? Mau jadi porterku? Kalau mau sih gapapa?" Nonin hanya tersenyum.
"Headlamp?", nonin menangguk lagi.
"Jaket windproof?", nonin lagi-lagi mengangguk.
"SB?", nonin tetap mengangguk.
"Sampean ini mengangguk itu punya atau gimana?" Tanya indra menaruh tangannya di dagu.
"Punya semua kecuali tenda", jawab Nonin, Indra memegang kepalanya.
"Kenapa gak bilang dari tadi kalau lengkap. Kan biar aku gak repot nulis. Hu" sambat Indra.
"Lah, kan sampean yang tiba tiba mengabsen" jawab Nonin sambil memainkan sedotannya. Bagi keduanya, ini lucu. Bagi kalian? Oh, tidak. Baiklah.
"Gimana kalau, april minggu pertama setelah sampean sidang?".
Nonin memikirkan sesuatu. Ia terlihat tidak yakin atas ajakan pendakian 3000 mdplnya yang pertama ini.
"Mbak, ada aku" tiba tiba keduanya bertatapan. Matanya saling beradu, Indra seperti meyakinkan.
"Ada aku yang bakalan ninggalin sampeyan kalau nyusahin" ucapnya lagi membuyarkan kehaluan penulis. Nonin langsung tertawa sambil mengangguk pertanda setuju. Kali ini, yang Nonin pikirkan bukan lagi soal Semeru, 3000 mdplnya yang pertama. Tapi tentang bagaimana solatnya.
"Mas Indra?" Indra memberi tanda "iya?" Sambil menaruh bolpoin.
"Saya lupa belum tanya, ini sensitif. Tidak bermaksud rasis. Murni keingintahuan agar kedepan kalau memang kita berbeda, bisa saling menghargai". Indra belum menjawab, tapi masih mempersilahkan Nonin berbicara.
"Apakah tuhan kita berdua sama?". Sekarang, Indra mendadak berhenti. Matanya kemudian dialihkan pada Nonin. Nonin gugup, takut pertanyaan ini menyinggung perasaannya.
"Saya hanya tanya, karena sekarang sudah masuk waktu maghrib. Jadi barangkali mas Indra mau solat, saya tunggu disini. Kebetulan saya sedang berhalangan solat". Indra tersenyum, sedikit lebih kaku dari biasanya. Mengangguk, menaruh kedua tangannya dibelakang kepalanya.
"Kita punya tuhan yang sama kok". Katanya yakin, Nonin jadi sungkan.
"Saya minta maaf kalau menyinggung mas Indra". "Tidak ada yang menyinggung, ini memang masuk waktu maghrib. Mungkin juga cukup dulu untuk hari ini, sampeyan saya antar ya?" Tawar Indra.
"Eh gak usah mas. Saya tadi kan kesini diantar sama teman kuliah, saya juga dijemput". Tuhan yang maha asyik, seperti menciptakan kebetulan bagi orang orang seperti ini "eh ini, teman saya telefon"
Nonin mengangkat, menyambut "halo" di kalimat pertamanya. Mendengar seksama obrolan diseberang dan diakhiri dengan kalimat "aduh gimana sih Asti".
"Sudah, sama saya saja" Indra beranjak dari kursinya. Indra tiba-tiba mendekat, semakin dekat dengan Nonin yang makin mematung, "Berdiri atau saya tinggal" ancam Indra memelan, tapi lebih ke mengancam. Nonin langsung bergegas. Merapihkan dirinya dari kursi mengambil start pergi ke parkiran, mengira akan ditinggal sungguhan. Sedang Indra tertawa tengil, ia sudah lama tak melihat wanita duduk di jok belakang motornya. Hari ini, penulis lupa tanggal berapa. Pertemuan mereka yang akan melahirkan pertemuan baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai Raung
AventurăSeorang perempuan yang mempunyai mimpi besar, imajinasinya membantu ia terbang di tempat tinggi. Dua hal besar yang pertama itu adalah tayamum, sedang yang kedua adalah mendaki sang maha megah raung. Mimpi akan tetap bunga tidur jika tak kau wujudka...