Sebuah motor Nmax melaju menuruni jalanan yang licin. Ternyata hujan turun ditempat ini, aspal masih basah pertanda hujan tak lama berlalu meski sekarang sudah tidak lagi merintik.
"Mba Nonin"panggil Indra membuka kaca helm.
Nonin menyusul membuka kaca helmnya "iya mas?"
"Buah apa yang kulit luarnya kuning, isinya pisang" katanya dengan jokes khas bapak bapak.
Nonin tertawa sebentar "aduh, ini pertanyaan yang susah" katanya sambil seakan akan berfikir.
"Kasihan mbak Nonin, kuliah 8 semester tapi masih belum pinter" ucap Indra mengejek.
"Lebih kasihan mas Indra"
"Kenapa?"
"Sudah kuliah 10 semester dan lulus beberapa tahun yang lalu tapi belum juga pinter" kali ini keduanya tertawa keras.
"Eh tapi kok tau sih kalau aku 10 semester?"
"Rahasia" jawab Nonin menutup tangannya disebelah mulutnya agar angin tak membawa suaranya.
"Mbak, aku nyaman dengan ini"
Deg, gerimis tiba tiba turun. Tuhan maha asyik. Hujannya tidak deras, namun rintik-rintik kecil ini cukup romantis.
"Maaf terlalu cepat". Sepeda motor yang mereka kendarai masih melaju pelan "aku gak tahu seperti apa perasaan sampeyan". Indra berhenti berbicara lagi.
"Apakah boleh dijawab?" Tanya Nonin polos, Indra mengangguk.
"Terus terang saya juga nyaman dengan pertemuan kita" ujarnya simple.
"Apakah kita harus pacaran?" Pertanyaan Indra kali ini sungguh membuat Nonin kaget. Nonin tidak menyangka arahnya akan kesitu. Ini adalah perasaan jatuh cintanya pada lawan jenis yang pertama kali sepanjang ia hidup di bumi.
"Tidak harus mas, kita bisa tetap saling mengunjungi satu sama lain seperti ini. Terimakasih sudah jujur" jawaban Nonin yang dirasa bijak, padahal disuatu hari nanti Nonin akan menyesali jawaban ini, jawaban yang akan membuatnya jatuh pada petualangan hidup yang baginya tidak mudah.
Jika dilihat dari sisi lain, Indra terlihat mengangguk sambil tersenyum. Ia senang sebab jawaban Nonin tak memberatkannya, tapi di sisi lain hal itu juga membuat Indra harus waspada, ia tak boleh menjebak Nonin yang telah bijak mengambil keputusan. Keduanya harus sepakat untuk tetap baik-baik saja sebelum akhirnya sama sama jatuh dalam jurang yang mereka berdua ciptakan sendiri.***
Mobil patroli beriringan melewati jalan Adi Sucipto, tempat kampus nonin berada, di seberang jalan kampusnya, di sebuah halte yang atapnya sudah keropos, Nonin menunggu angkot hendak pulang. Sebelum handphonenya berbunyi, Nonin yang awalnya akan abai mendadak memalingkan muka setelah sebuah nama tertera disana. "Mas Indra", gumamnya. Senyum masih ada disitu, sebelum pesan itu dibuka menggantikan sebuah panik setelah membaca isi pesan itu "mbak, jadi jam berapa?". Nonin langsung menepuk jidatnya sendiri, ia lupa akan ucapannya semalam. Kedua tangannya diayunkan setinggi telinga sambil memegang HPnya sendiri. Seseorang memperhatikannya dari jauh, tak sadar kalau temannya yang di halte itu sedang tidak baik baik saja. "Ica" katanya sedikit berteriak. "Ica" serunya sekali lagi. Kali ini seseorang itu menyebrangi jalan. Nonin yang sadar apabila seseorang itu menuju tempatnya langsung melambaikan tangan "asti", ternyata namanya asti. Asti tak membalas lagi. Ia sibuk memperhatikan badan jalan agar tak salah mengambil keputusan ketika menyebrang. "Asti bantuin saya" ucap Nonin segera setelah Asti 3 meter di depannya. "Asti, ih! Bantuin saya" kali ini Nonin mengoyaknya. "Heh, apa? Ada apa?" Nonin justru berjongkok hampir duduk dilantai halte, menutup wajahnya dengan jilbab yg lepas ikatannya dari lehernya sendiri. "Ih gimana sih, ditanyain malah kek jenglot" kata Asti kocak. Nonin belum bangun, tapi ia sudah mulai tenang. Menyusul Asti yang kini duduk di kursi halte, ternyata ia mengeluarkan roti dari tasnya. "Kenapa?" "Kamu udah gak mau cerita sama aku?" Todong Asti memakan rotinya sendiri. "Oke, iya, saya cerita" jawab Nonin menyomot roti di tangan Asti.
"Saya kenalan dengan salah satu kakak kelas kita, eh, alumni sih", asti menoleh.
"Namanya Indra, kejadiannya pas kapan ya", Nonin mengingat, "lupa, pokoknya pas bimbingan", Asti masih menoleh.
"Semalam, saya pergi dengannya, ke Ijen isun", sekarang Asti menganga.
Asti tiba-tiba saja tertawa, tidak perduli roti yang dimulutnya bisa saja menyembur kemana mana. Lebih tepatnya seperti kegirangan.
"Bodohnya, semalam saya sudah berjanji akan mengajaknya pergi ke kedai kopi di Kalibendo" suara Nonin memelan. "Tapi apesnya saya lupa" kali ini Nonin merengek panik.
Semalam, di sebuah cafe bernama Ijen Isun. Dua orang yang belum sepasang saling bertemu. Kali pertama bagi seorang gadis bernama Nonin pergi hingga larut melarikan diri dari rumah dan skripsinya, 24 Maret 2018. Ijen isun, sebuah tempat yang di lain cerita nanti akan jadi tempat kesukaan Nonin, tempat dengan lokasi tak jauh dari pusat kota. Jangan bertanya tentang siapa yang lebih dulu meramu pertemuan ini. Pertemuan dengan obrolan basi ini justru melahirkan pertemuan hari ini, 25 Maret 2018. Hari dimana Nonin ternyata lupa bahwa sebuah janji terucap dari mulutnya kepada Indra yang bercerita bahwa ia seorang petani. Janji bertemu di sebuah tempat bernama Manjehe coffe.
"Asti, kamu dengerin gak sih" seru Nonin. Penulis lupa melanjutkan cerita.
"Ya dengerin lah, aku lagi seneng. Akhirnya kamu punya temen cowo. Hahaha" ucap Asti lebih seru lagi kali ini.
"E...e kan cuma temen" sanggah Nonin.
"Lah iya, masalahnya ini kan temen kamu lawan jenis. Aku jadi yakin kalau kamu gak lesbian. Hahaha". Kali ini Nonin cemberut.
"Ayo, nanti lagi ceritanya. Ini gimana?" Nonin masih menutupi wajahnya, menggigit kukunya, kegiatan yang tidak ada gunanya.
"Ya kan kamu tinggal pergi. Apa masalahnya?"
Nonin menghela nafas, menghadap Asti "Asti, jadi gini. Kamu tau kan? Saya belum pamit sama ibu. Saya harus gimana" keduanya diam sekarang.
Asti serasa ikut panik memikirkan. Kenapa aku harus ikut pusing? Mungkin begitu isi pikiran Asti. Sekarang ia bahkan ikut menggigit kukunya dan wajahnya menelusuri jalanan. Ada-ada saja memang. Lalu "kamu tidak bisa berbohong ke ibu ya?" Nonin menggeleng seakan meminta tolong, hal itu tidak mungkin dilakukannya.
"Bagaimana biasanya pertanyaan ibu jika kamu pamit main?" Tanya asti serius.
Nonin terlihat berfikir "kamu pergi sama siapa?" Bahkan Nonin menirukan gaya bicara ibunya.
Dapat! Asti dqpat jawabannya. Kali ini bahkan langsung menyeret pergi dari halte menuju parkiran kampusnya. Menyeberang jalan, beruntung sekali jalanan sedang lengang. Nonin yang diseret tanpa aba aba berteriak dari belakang "asti, ih" asti terus menyeretnya "asti. Kasih tahu dulu apa rencana kamu".
"Kalian ketemu ditempat. Kamu aku antar ke Kalibendo, nanti disana aku jemput setelah kamu selesai" kali ini keduanya sudah memasuki gerbang kampus.
"Udah, yakin aja". Asti berhenti, menatap Nonin "kan kamu gak bohong ke ibu. Nanti ibu pasti tanya kesana sama siapa, kan sama aku. Kan ga bohong", "iya kan Nonin?" Sambung Asti.
Nonin melirik Asti. Memiringkan bibirnya, seperti tidak yakin. Wajah Asti meyakinkan, walau kau akan tahu bahwa Asti saja tidak yakin akan rencananya itu.
Nonin mengangguk, Asti mengayunkan tangan bertanda "yes".
Nonin kemudian mengambil handphonenya, pesan Indra sudah 30 menit dibiarkannya tanpa dibalas. Sekarang sudah ada 2 pesan whatsApp tambahan. Keduanya dari Indra. "Eh lupa, belum assalamualaikum mbak Nonin", baris selanjutnya "ini jadi atau nggak ya?".
Nonin mengetik, Asti melihat dari samping. "Jadi mas, sekarang saya ke Kalibendo ya. Nanti saya shareloc. Saya tunggu disana. Mas Indra bisa sekarang?"
Asti dan Nonin berpandangan, keduanya menelan ludah. Inilah rencana kebohongan pertama dari Nonin kepada Ibunya, masih rencana kan? Belum terjadi. Pikirkan belakangan saja.
Itulah sekelebat cerita singkat kegugupan Nonin di Kalibendo kemarin, disebuah cafe yang aku ceritakan sebagai tempat meramu pendakian pertama mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai Raung
AventuraSeorang perempuan yang mempunyai mimpi besar, imajinasinya membantu ia terbang di tempat tinggi. Dua hal besar yang pertama itu adalah tayamum, sedang yang kedua adalah mendaki sang maha megah raung. Mimpi akan tetap bunga tidur jika tak kau wujudka...