1. Kafe

683 42 71
                                    

Seli selalu menyukai kopi yang dijual di kafe dekat pertigaan itu.

Selain menyukai kopinya, ia juga suka memperhatikan sekitar kafe, entah ramai atau sepi. Otomatis Seli juga hafal seluk beluk kafe tersebut.

Termasuk baristanya.

Hari itu Seli pergi ke kafe favoritnya yang terletak tak jauh dari rumah. Ia pergi dengan berjalan kaki, menikmati panorama sore hari yang begitu menawan.

Seli pergi ke kafe hanya sekadar untuk menenangkan diri, atau mengerjakan tugas. Jika mengerjakan tugas, ia selalu memesan kopi Americano yang terkenal pahit itu.

Seli bersenandung riang sambil berjalan kaki. Ia hanya belum tahu, beberapa jam ke depan, ia akan bertemu dengan seseorang yang akan sangat mempengaruhi hidupnya nanti.

"Puh, akhirnya sampai," gumam Seli.

Ia memasuki kafe favoritnya itu, kemudian memilih duduk di belakang, dekat jendela besar yang langsung menghadap ke jalanan.

Seli memesan Americano karena ia mau mengerjakan tugas. Agar tidak mengantuk, katanya. Setelah memesan minuman, pandangan Seli terpaku pada salah satu barista laki-laki yang tidak pernah ditemuinya. Sepertinya dia barista baru.

Seli terus menatap barista tersebut karena auranya menarik perhatian, sampai ia tidak sadar bahwa pesanannya sudah datang.

Barista tersebut merasa risih karena ia merasa sejak tadi ada yang menatapnya. Ia menoleh ke arah Seli yang terus memperhatikan dirinya. Lantas, Seli langsung mengalihkan pandangan ke jendela.

Barista itu tertawa pelan. "Lucu sekali."

Membuka laptopnya, Seli mulai disibukkan dengan tugas-tugasnya yang menumpuk. Ia sibuk menulis jawaban dari soal-soal yang kelihatannya sulit di bukunya.

"Kamu suka Americano?"

Seli terkejut. Ia mengangkat kepalanya, dan mendapati barista yang tadi ditatapnya terus menerus itu ada di hadapannya.

"A-ah, iya. Aku suka Americano. Lagipula rasanya tidak buruk, selagi kamu menikmatinya."

"Iya, kamu benar. Oh iya, kulihat dari tadi kamu terlihat sulit mengerjakan soal. Mau kubantu?" tawar laki-laki itu.

"T-tidak usah. Lagipula ini lumayan mudah." Seli menjawab gugup. Salah tingkah.

"Kamu tidak pandai berbohong, ya, Nona. Aku memperhatikanmu sejak tadi. Kamu terlihat kesulitan menjawab soal-soal itu." Laki-laki itu mengambil buku dan pulpen Seli secara tiba-tiba, lalu mulai mengerjakan soal-soal.

"Ah, pelajaran SMA kelas sebelas. Hmm... ini mudah kok, mau ku ajari?" tawarnya kepada Seli.

Lagi-lagi Seli salah tingkah. Ia menggaruk tengkuknya, kemudian mengangguk. Mengiyakan.

"Maaf kalau merepotkan."

Ia menggeleng. "Tidak kok. Oh iya, kita belum berkenalan, maaf kalau aku tidak sopan. Namaku Ily. Senang bertemu denganmu." Ily mengulurkan tangannya, mengajak bersalaman.

Seli membalas uluran tangan itu. "Namamu unik juga." Seli tertawa. "Aku Seli. Senang bertemu denganmu juga. Omong-omong, umurmu berapa? Kelihatan seumuranku. Apa lebih tua?"

"Umurku tujuh belas tahun. Kelas dua belas SMA. Ehm, maaf. Tanganmu."

Seli tersentak. Tangan Ily terlalu nyaman untuk digenggam, seperti dibuat khusus untuknya. Seli segera melepaskan genggaman tangannya. "Ah iya, maaf."

Mereka berdua mulai mengerjakan soal-soal rumit--yang sebenarnya itu milik Seli. Terkadang diselingi candaan yang membuat mereka tertawa. Mentari mulai menenggelamkan dirinya, digantikan dengan kegelapan malam yang terlihat tiada akhirnya.

CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang