"Kak Ily?!"
Sosok Ily muncul di jendela kamar Seli. Terlihat bahwa Ily naik menuju kamar Seli menggunakan tangga yang ada di sekitar itu.
"Sssttt... Nanti orang rumah dengar."
Seli menggeleng pelan. "Kamarku kedap suara."
Ily masuk ke kamar Seli. Tentu saja ia meminta izin terlebih dahulu. Seli buru-buru mengambilkan air putih pada Ily (di kamar Seli ada galon dan beberapa gelas).
Wajah Ily menunjukkan bahwa ia kelelahan. Matanya juga terlihat sedih.
"Kakak kabur dari rumah?" Seli bertanya hati-hati.
Hening. Ily masih bungkam. Ia malah menundukkan kepalanya. "Maaf kalau kakak merepotkan. Tapi kakak nggak tau harus ke mana lagi selain ke rumahmu," jawab Ily. Ia menghela nafas sedih.
Seperti tahu Seli hendak menanyakan sesuatu, Ily menjawab duluan. "Aku kabur dari rumah."
Ily sudah menebak, Seli akan terkejut. Ia tidak berencana menceritakan masalahnya pada siapapun, karena tidak ingin merepotkan orang lain.
Melihat raut wajah Ily yang menyedihkan, Seli memeluknya tanpa aba-aba. "Kalau mau cerita, cerita aja. Tapi aku nggak bakalan maksa. Itu hak kakak."
"Kakak tidur di sini dulu saja. Kakak bawa seragam? Kalau tidak bawa, besok kita bolos. Urusan surat biar aku yang urus. Kita ke kafe saja, aku bakal bantuin kakak kerja," lanjut Seli.
Ily menggeleng. Ia tersenyum tanpa Seli ketahui. "Kamu masuk saja. Biar aku yang bolos. Nanti kamu tertinggal pelajaran. Dua temanmu itu juga pasti akan mencarimu."
Seli refleks melepaskan pelukan. Ia menatap intens manik hitam legam milik Ily.
"Apa aku terlihat bercanda, kak? Aku mau membantumu meskipun hanya sekali."
Ily mengangguk pasrah. "Ya sudah."
Kemudian Ily--dengan inisiatif sendiri--mengambil kasur lipat yang terletak di pojok kamar Seli, lalu memasanginya dengan seprai. Seli hanya mematung sejak tadi, menatap sang Bulan yang terlihat begitu menawan malam ini.
Hujan masih turun mengguyur kota. Seli mengalihkan pandangan ke arah jendela. Ia selalu senang dengan hujan, namun tidak untuk kali ini. Hatinya terluka melihat Ily yang rela hujan-hujanan demi sampai ke rumahnya karena diusir. Seli masih beruntung, memiliki orang tua yang lengkap.
Tangan Ily hampir meraih tangan kiri Seli yang menganggur. Namun diurungkannya niat itu karena Seli terlihat sedih.
Seli menoleh ke arah Ily. Mereka saling bertatap muka, namun tidak berani mengutarakan kata-kata.
Terlihat sekali wajah Ily menampakkan bahwa emosinya menjadi satu. Mulai dari marah, sedih, kecewa, pasrah, atau mungkin hal yang lain lagi.
Seli mengangguk tanda mengerti. Ia berjalan menuju lemari, mengambil selimut, bantal, dan guling lalu diberikan kepada Ily. Kemudian Seli berjalan menuju kasurnya, bersiap tidur.
Seli terus memikirkan semua hal tentang Ily. Ia ingin lebih tahu, seperti apa hidupnya. Apakah ia bisa membantu Ily? Apakah ia bisa menjaga Ily sepenuh hati?
Tanpa Seli sadari, Ily sejak tadi menatap Seli, sang Matahari. Ily pun sama seperti Seli. Jarak mereka dekat, namun hati mereka terasa sangat jauh.
Dan pada akhirnya, mereka berdua terlelap dalam diam. Menyisakan suara jam dinding yang terus berdetak seiring berjalannya waktu.
***
Pukul 8 pagi, Seli baru bangun. Sedangkan Ily masih tidur. Mungkin ia kelelahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee
FanficKopi hari ini enak, bukan? Ily x Seli Fanfiction of Bumi Series. [DISCLAIMER] Tokoh dalam fanfiksi ini bukan milik saya. Saya hanya meminjam tokoh milik Tere Liye. Don't like, don't read! cover background ©to owner