Malam mulai merayap. Jarum jam hampir menunjuk angka dua belas. Namun gadis yang masih mengenakan kaos dan celana jeans selutut itu masih betah duduk di depan kanvasnya. Selalu ada rasa tenang setiap kali jarinya menyapukan warna di atas benda putih itu.
Rere menghela napas, merapikan semua alat lukis ke dalam tempatnya saat dirasa tubuhnya mulai penat. Ia meregangkan tubuhnya sebentar sebelum keluar dari studio lukisnya, lalu masuk ke dalam kamar.
Baru saja ia membaringkan tubuh, ponselnya mengalunkan satu lagu. Membuat bibir mungil itu berdecak lirih.
Kening Rere berkerut saat melihat nomor yang terpampang tak dikenal. Ia mendiamkan ponselnya, namun saat benda itu kembali mengalunkan lagu Rere tidak lagi bisa mengabaikannya.
"Lihat jendela, Re! Aku punya kejutan," kata suara di seberang sebelum Rere sempat mengucapkan halo.
Rere pun segera bangkit dari kasur dan segera membuka jendela kamarnya.
"Hitung sampai tiga, ya!" kata suara di seberang lagi. Hanya dengan mendengar suaranya saja, Rere sudah tahu siapa laki-laki yang kini mulai menghitung dari seberang telepon itu. Rere pun ikut menghitung di dalam hati.
Tepat di hitungan ke tiga, langit tampak berwarna warni oleh kembang api. Terus bersusul-susulan dengan indahnya, hingga tanpa sadar kedua sudut bibir Rere terangkat. Membentuk senyuman manis yang akhir-akhir ini jarang sekali ia tampilkan.
"Happy birthday my queen," bisik suara di seberang.
Dada Rere seketika bergemuruh. Tangannya tanpa sadar menggenggam erat ponsel yang masih ia tempelkan di telinga. Mata Rere mulai berkaca-kaca. Panggilan itu, membuat dunia Rere terasa jungkir balik tak terkendali.
"Aku pernah membuat satu kesalahan, Re. Dan nggak akan pernah aku ulangi lagi. Walaupun kamu menyuruhku berhenti, aku nggak akan pernah berhenti. Kamu nggak perlu melakukan apapun, dan ... jikapun kamu nggak percaya dengan perkataan ku, aku nggak masalah. Jalani aja hidup kamu seperti biasa, biarkan aku yang berjuang. Anggap aja ini adalah satu hukuman, karena aku pernah membuat kamu menangis."
Satu bulir air mata terjun bebas dari mata Rere. Ia tidak sanggup berkata apapun. Bukannya dia tidak mau percaya dengan apa yang Mahesa katakan. Hanya saja, Rere takut jika hatinya akan kembali patah.
"Aku boleh minta sesuatu?"
Rere tersentak, ia mencoba menahan isaknya. Tidak mau jika sampai Mahesa tahu jika dia menangis.
"Ya?"
"Besok temui aku di taman biasa kita ketemu, aku tunggu jam delapan." Rere hanya mengerjab, ia bingung harus menjawab apa.
"Satu hari saja, Re. Biarkan aku membuat kamu tersenyum di hari bahagia kamu kali ini. Please!"
Rere menghela napas, lalu mengangguk. Tapi segera mengatakan 'ya' saat sadar Mahesa tidak akan melihat gerakan kepalanya.
"Terimakasih, sekarang kamu istirahat, sampai besok!"
Rere tak menjawab, ia hanya menghela napas, lalu mengamati layar ponselnya setelah orang di seberang memutus sambungan. Bibirnya kembali tersenyum. Entah mengapa ada rasa bahagia yang menelusup, saat kata-kata Mahesa tadi kembali terngiang.
My queen.
Sepertinya Rere tidak akan bisa tidur malam ini.
*
Mungkin ini kedua kalinya Rere merasa tidak percaya diri dengan penampilannya. Ia sudah membongkar-bongkar isi lemarinya dan tak menemukan satu bajupun yang ia rasa pas untuk dipakai. Kepalanya mendongak, melihat jam yang hampir menunjuk angka delapan. Sepuluh menit lagi!
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE for YOU ✓
Romance💜Pindah ke Dreame/Innovel💜 Rere bertemu kembali dengan laki-laki dari masa lalunya. Namun dalam kondisi yang tidak diinginkan. Sementara ada Leon yang selalu ada di saat-saat terpuruknya. Namun keberadaannya tidak pernah Rere anggap berarti. Dan...