LFU_29

789 55 5
                                    

Terkadang, seseorang menjadi begitu berarti saat dia memutuskan untuk pergi. Kehadirannya yang dulu sering diabaikan, menjadi begitu penting setelah dia memutuskan untuk berhenti berjuang.

Rere menggigit bibir, sesekali melihat layar ponselnya yang masih saja hening. Matanya mendongak, melihat jarum jam yang sudah menunjuk angka sepuluh. Lalu sambil menghela napas, ia mengamati pemandangan gelap di luar sana dari balik kaca jendela, yang tirainya sengaja ia buka.

Rere segera mengambil ponselnya saat benda pipih itu berdenting. Tapi bahunya merosot dengan bibir mengerucut karena pesan yang masuk bukanlah dari seseorang yang ia tunggu.

Rere kembali meletakkan ponselnya tanpa berniat membaca apalagi membalas pesan yang Mahesa kirim. Jangan salahkan Rere yang terkesan labil. Hati juga memiliki ujung lelah. Apalagi ia sudah terlalu sering merasa kecewa dan mungkin kini sudah saatnya, hatinya memutuskan untuk berhenti berharap. Ia hanya manusia biasa yang mempunya batas sabar. Jadi, jangan salahkan Rere jika tiba-tiba saja hatinya seperti telah menghapus nama Mahesa meski belum sepenuhnya.

Gadis itu mengembus napas kasar, meniup-niup poninya, lalu berjalan tidak tentu arah. Detik waktu mulai merambat namun Leon tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Apa jangan-jangan Leon sudah memutuskan untuk pergi tanpa mau menemuinya?

Rere menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba menghalau pikiran buruk yang melintas. Mencoba menetralkan perasaannya yang mulai tak keruan.

Dia tak sadar jika apa yang ia lakukan kini sangat berbeda dengan Rere yang biasanya. Bahkan ia lupa jika pernah berpikir berjauhan dengan Leon adalah hal yang mudah. Menjauhi laki-laki itu bukan perkara sulit. Nyatanya hanya mendengar Leon akan pergi dan mungkin tidak akan menemuinya lagi saja bisa membuatnya segusar ini.

Rere akhirnya memilih duduk. Matanya mengamati lantai keramik kamarnya. Mencoba mengingat kembali kebersamaan yang selama ini ia habiskan bersama Leon. Tentu saja semuanya tidak bisa dianggap tidak penting.

Leon adalah sosok yang selalu ada saat ia membutuhkan seseorang untuk berbagi cerita. Leon adalah sosok yang selalu menyediakan punggungnya saat Rere ingin menangis. Leon adalah satu-satunya orang yang sangat mengerti perasaanya. Dia adalah satu-satunya orang yang selalu tahu kapan Rere bersedih ataupun bahagia. Bahkan sebelum Rere mengucapkan apapun, Leon selalu tahu apa yang Rere rasakan. Hanya pada laki-laki itulah Rere tidak bisa berbohong. Karena Leon, laki-laki itu selalu bisa membaca segala hal dari sorot mata Rere.

Rere menghela napas, ia baru menyadari betapa kejam apa yang selama ini ia lakukan pada Leon. Menganggap laki-laki itu tidak penting, padahal Leon adalah sosok terpenting dalam hidupnya.

Denting ponsel kembali membuat Rere terhenyak. Ia segera berdiri dan menyambar ponselnya.

Leon :
Gue di depan. Lo belum tidur, kan?

Tanpa menjawab pesan itu Rere segera keluar. Ia mengendap-endap, melongok lantai atas, untuk memastikan jika Renata dan kedua orangtuanya sudah terlelap. Dengan perlahan Rere membuka pintu dan berusaha tidak menimbulkan bunyi saat kembali mengunci pintu depan.

Sosok dengan jaket hitam menyambut Rere saat gadis itu berjalan ke arah pintu gerbang. Leon yang menyadari kehadiran seseorang pun menoleh, ia tersenyum tipis saat melihat Rere yang kini berjalan ke arahnya.

Ada kecanggungan yang terasa aneh di antara keduanya. Bahkan Rere seperti enggan menatap wajah Leon yang sudah tidak terlindungi tudung jaket. Dengan sangat hati-hati Rere membuka dan menutup pintu gerbang rumahnya.

Sedikit gugup, Rere tersenyum dan memberanikan diri mendongak. Senyuman lembut Leon menyambutnya. Untuk pertama kali, Rere merasakan hatinya bergetar kala melihat mata sipit itu terlihat semakin menyipit.

LOVE for YOU ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang