7 Months

1.1K 59 2
                                    

Ramai.

Suara dan Suasana kota sungguh ramai. Tapi keramaian yang ada masih belum cukup untuk mengacau ketenangan si indigo. Di sebuah halte berkursi kayu dan di kelilingi tanaman rimbun itu, ia masih senantiasa duduk sambil menengadahkan kepala nya ke atas, menatap ke arah langit yang sedang cerah dan bersahabat.

"Nak? Kau perlu sesuatu kali ini? Mungkin nenek bisa membantumu." Sahut seorang wanita tua, pemilik sebuah kedai cemilan kecil di sebelah halte tempat ia duduk.

"Tidak, Nek, Terima kasih." Ucapnya dengan senyum manis.

Wanita tua itu kemudian membalas senyuman si indigo dan kembali ke kedai nya. Ia masih senantiasa menatap si indigo dari dalam kedai. Ini sudah yang ke-7 kalinya ia melihat si indigo berada di halte itu setiap tanggal yang sama sejak 7 bulan lalu. Ia pun masih tidak tau alasan wanita cantik itu duduk di sana setiap bulannya. Ia hanya seperti orang yang duduk dan tidak melakukan apa-apa. Tapi mengapa harus di tanggal yang sama setiap bulannya? Alasan paling mungkin yaitu dia sedanglah menunggu seseorang. Ya, mungkin saja.

Wanita bersurai indigo itu masih senantiasa duduk di halte, Sejak pagi hingga kini matahari telah tenggelam. Dan masih tidak melakukan apa-apa. Kepalanya tampak menunduk, menatap perutnya yang besar. Tangan kanannya yang mungil kemudian Mengelus perutnya itu dari luar, seakan akan ia tengah mengelus langsung anak yang sedang ia kandung dalam rahimnya.

*tes

Air matanya lolos begitu saja, dari mata bak rembulannya yang indah, jatuh ke atas perut buncitnya.

'7 bulan menunggu, dan kau masih tidak ada.' batinnya pilu.

Ia lalu menghapus lelehan air matanya dengan tangannya. Ia lalu beranjak dari halte itu, lalu mencari taxi dan pulang.

.

Both.

.

"Hinata, Kau darimana saja?" Sahut seorang pria dewasa dengan surai kuning dengan riak wajah khawatir menatap kedatangan si indigo.

"Dari rumah ino." Ucapnya bohong.

"Ino? Tapi tadi aku bertanya padanya, dia bilang dia tidak bersamamu. Kau bohong padaku?" Sahut si pria sedikit kecewa.

"Maaf, Naruto. Aku... Maaf." Ucapnya dengan suara yang tiba tiba memelan. Ia terdengar seperti tidak bisa lagi menahan pilu yang ia pendam sendirian. Wajahnya perlahan memerah. Air matanya kembali menetes dan suara isak mulai terdengar.

Naruto menghela nafas. Ia lalu menghampiri hinata dan membawanya ke dalam peluk hangatnya, menyandarkan kepala bersurai indigo sang wanita di bahu tegapnya, lalu ia elus surai indigo lembut itu. Mencoba menenangkan sang pemilik.

"Maaf Hinata. Aku tau kau masih menunggunya, aku juga tidak tau dia akan kembali atau tidak, tapi aku akan selalu ada di sisimu, sayang. Aku mencintaimu." ucapnya tulus. Bahu mungil Hinata yang tadinya bergetar hebat menahan tangis mulai sedikit mereda.

'Rindu seberat ini tentu sangat menyakitkan kan Hinata? Aku tau.'

"Naruto, Apa kau sudah makan?" Ucap Hinata dengan keadaan masih sembab setelah usai mengusap jejak air matanya.

"Belum. Aku buru buru pulang untuk memastikan kau ada di rumah."

"Ganti pakaianmu dan Mandilah, aku akan menyiapkan makan malam." Ucap Hinata sembari melepas dasi kerja berwarna maroon milik naruto.

"Baiklah, Hime." Ucap Naruto. Ia lalu mengecup ringan kening istrinya dan kemudian berlalu menuju kamar mereka.

Hinata yang tidak makan sejak pagi tidak merasa lapar sama sekali, mungkin karena rasa sedih yang cukup ia rasakan. Tapi ia juga tetap harus makan untuk kebutuhan gizi anak yang dikandungnya.

.

Both.

.

'uhuk uhuk'

Rasa sakit itu muncul lagi. Perlahan kepala nya mulai berdenyut keras membuat pandangannya menjadi buram. Naruto langsung menelusuri laci pribadinya, mencari cari pil yang harus rutin ia konsumsi ketika sakit itu tiba.

Pil berwarna putih itu ia telan secepat mungkin, tangannya mulai bergetar hebat, ia lalu menggapai segelas air putih dan langsung meneguknya habis. Ia jatuh terduduk. Semakin hari efek dari sakit yang ia derita makin menjadi jadi. Tubuhnya keringatan dan lemas. Tubuhnya yang tadinya bergetar hebat perlahan mereda. Hidungnya terasa basah. Namun ia biarkan dalam lamunannya.

"Naruto-kun? Makanannya telah siap." Sahut suara lembut Hinata dari arah dapur.

Naruto kemudian tersadar, ia langsung menggapai tisu yang ada di atas nakas dan langsung membersihkan darah segar yang mengalir di hidungnya.

"Iya Sayang, sebentar lagi." Ucapnya.

Ia lalu menatap cermin dan menampilkan senyumnya yang manis. Ia tidak boleh menampakkan rasa sakitnya di depan Hinata. Alasannya sederhana, dia tidak ingin istrinya kembali bersedih.

Ia lalu beranjak keluar kamar dan menuju ke arah ruang makan. Dari jarak jauh pun aroma yang sangat menggairahkan nafsu makan sudah tercium. Masakan istrinya memang lah yang terbaik.

"Seperti biasa kau selalu menyiapkan yang terbaik bahkan dari aroma nya saja aku sudah dapat menebaknya." Ucap Naruto setibanya disana, membuyarkan fokus Hinata yang tengah menyiapkan makan di meja makan.

"Humm, tidak sehebat itu, Naruto-kun." Ucap Hinata dengan semburat merah di pipi bakpaonya serta senyum malu malu yang sungguh manis. Obat dari segala obat. Naruto tidak butuh yang lain selain Hinata nya.

"Duduklah Naruto-kun." Ucap Hinata.

"Itadakimasu, Hime." ucap Naruto dengan wajah berbinar.

Mereka kemudian makan dalam suasana tenang.












To be continued.

Cerita ini murni dari pemikiran saya sendiri. Mungkin jika tidak begitu asing di mata para reader mungkin karena saya juga adalah reader dan terinspirasi dari banyak cerita.

Sankyuu(/ω\)

BothTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang