DUA CENTANG BIRU

32 6 6
                                    

Roti bakar yang baru saja kami beli nganggur begitu saja di meja. Wajah bete itu cukup membuatku paham suasana hati pemiliknya.

Aku memperhatikan Deasy yang berkali-kali mengangkat ponsel. Dering nada tunggu terdengar beberapa kali namun tak juga ada percakapan. Dengan mulut mengerucut dia mengetikkan sesuatu.

"Kenapa? Perang lagi?" pancingku.

"Bete! Pram itu kayak orang lagi menghindari debt Colector!"

Aku hanya tertawa sambil terus mengunyah roti potongan kelima. Harus genap 32 kali. Kasihan lambung jika bekerja terlalu berat. Aku rasa mubadzir juga kalau roti bakar yang masih hangat itu menjadi dingin atau bahkan Terbuang begitu saja karena si pemilik badmood. Lagi pula menjadi pendengar sejati itu butuh energi ekstra. Haha.

"Kok bisa membuat kesimpulan begitu?" tanyaku lagi.

"Dia itu gak jelas banget. Kapan online? Chatku dah dibaca atau belum. Dan yang ngeselin last seen nya itu gak terlihat!" Deasy berkata begitu emosi.

"Sabar, ambil napas panjang," panduku bak seorang psikolog atau motivator.

Sebetulnya nggak heran juga sih Pram berbuat seperti itu. Gadis manis di depanku terlalu posesif. Ketika dia terbangun tengah malam akan mengecek pacarnya sudah tidur atau belum. Jika terlihat WAnya masih online, dia segera menginstruksikan untuk off dan segera tidur. Belum lagi ceramah panjang yang bakal diluapkan ketika bertemu.

Deasy menarik napas dan menghembuskannya keras-keras. Aku melirik ponselnya yang tergeletak di samping botol minuman bersoda.

"Nih, kamu yang atasi." Deasy memberikan ponselnya dan seperti biasa memintaku menghadapi orang yang dia sendiri sudah menyerah. Disinilah kemampuan mahasiswa public relation diuji.

Ku baca chat Deasy dan Pram sebelumnya. Banyak sekali spam Deasy yang dibiarkan tak terjawab dan seolah belum terbaca. Yang diceritakannya memang benar. Pram menonaktifkan notifikasi.

Aku mulai menulis beberapa kalimat dan mancingnya untuk chatting. Sampai akhirnya kusadari sesuatu telah berubah.

"Eh, tumben ada dua centang biru?" ketikku.

"Iya, baru saja beli tinta, nih," balasnya yang mampu menciptakan senyum di sudut bibirku. Tapi kurasa dia tak pernah menyadari teman chattingnya kali ini bukan sang kekasih. Karena aku hanya seorang pengagum rahasia, jauh sebelum menjadi comblang diantara mereka.

#FF

KUMPULAN Flash FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang