PANCI-PANCI SIMBOK

10 1 0
                                    

Kalau ditanya siapa anak kesayangan Simbok? Jawabannya pasti Kang Badrun.

"Kok bisa?"

Semua tahu. Sulung dari tiga bersaudara itu adalah anak emas di rumah ini. Bagi Simbok, apa-apa Badrun. Apa-apa Badrun. Yang teristimewa hanya Kang Badrun.
Pernah suatu hari aku mendapati Simbok baru saja menggoreng sepiring ikan. Aroma gurih ikan itu semakin menggugah selera makanku. Apalagi sejak jam pelajaran terakhir di sekolah perutku sudah mulai bernyanyi.

Maka dengan suka cita aku mengambil piring dan nasi. Aku mulai mengamati ikan-ikan yang terbujur di atas piring doralek coklat. Dan pilihanku jatuh pada lele paling besar. Sudah terbayang lezatnya makan dengan lauk ikan lele itu. Tapi tiba-tiba.

"Iku nggo Badrun. Koe milih liyane!" kata Simbok tepat di samping telinga.

Pernah juga Lik Pardi tergopoh-gopoh hendak meminjam sepeda motor. Apa jawaban Simbok?

"Ngko, pamit Badrun sik. Oleh opo ora?"

Pun kegemparan yang terjadi di pagi buta ini. Biasanya selesai jama'ah subuh di langgar, Simbok segera menjerang air untuk membuat teh dan bersiap memasak.

"Drun, Badrun. Reneo!" teriak Simbok panik dari arah dapur.

Kudengar langkah Kang Badrun tergesa menghampiri Simbok.

"Ono maling. Dhewe kemalingan neh. Pancine Simbok ilang maneh!" ucap Simbok panik.

Rasanya aku ingin tertawa tapi takut dosa. Aku hanya membatin. 'Ohalah, Mbok. Siapa doyan pancimu yang hitam penuh jelaga itu?'

Kang Badrun terdiam. Namun sesaat kemudian dengan tenang dia berkata, "Ngko, mulih soko pasar Badrun tumbaske, Mbok.

Ajaib. Jawaban Kang Badrun membuat Simbok diam. Dan hari berjalan sebagaimana biasa, aman, damai, sentosa. Seolah tak terjadi apa-apa.

Sampai ada sebuah peristiwa. Saat itu malam Minggu. Kami semua berkumpul menonton TV, kecuali Siti. Saudara perempuan kami satu-satunya itu rupanya sedang puber. Dia sudah mulai pacaran. Mungkin malam ini pacarnya akan bertandang? Aku hanya bisa menduga-duga.

Ditengah keasyikan menonton TV tiba-tiba lampu padam.

"Aaaa....... Piye Iki?" teriak Siti dari kamar.

"Ora usah njerit. Ngko dikira kuntilanak!" tegurku.

Kang Badrun segera menyalakan senter ponselnya. Suasana ruang tamu tak lagi gelap. Tiba-tiba terdengar kluntang, kluntang dari kamar Siti. Seperti perabotan jatuh.

"Aduh, sampai nabrak-nabrak aku," ucap Siti sedikit lega setelah berhasil bergabung dengan kami. Lampu kembali menyala.

"Astaghfirullah!" pekik Simbok menunjuk wajah Siti. Kami semua segera menoleh pada arah telunjuk Simbok.

"Koe kie ngopo, Ti?" tanya Kang Badrun menunjukkan ekspresi tak suka.

"Opo si?" Siti masih mengelak padahal tawa kami sudah meledak.

"Alismu kuwi, lho!" tegur Kang Badrun keras.

"Oh Iki? Aku nganggo langes ben alisku cetar koyo inces Syahrini," jawab Siti malu-malu.

Aku segera berlari ke kamar Siti. Sempat tertegun beberapa lama. Sampai akhirnya dengan bangga kupamerkan apa yang berhasil ku temukan.

"Jebule maling pancine Simbok kuwi Siti!"

"Huuuuuuuuu," sorak semua anggota keluarga termasuk Simbok dan Kang Badrun kepada Siti.

#FF

KUMPULAN Flash FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang