3

755 24 3
                                    

Itu yang pertama kali di pikirkan Widya, atau mungkin serombongan orang. di setiap Nisan, di tutup oleh kain hitam.pemakamanya sendiri, di kelilingi pohon beringin, dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya, disana, ada lengkap, sesajen di depanya.
Nur yang tadi ikut tertawa, tiba-tiba menjadi diam. ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau melihat sesuatu. pagi, itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Widya."ngapunten pak, niki nopo nggih kok" (mohon maaf pak, ini kenapa ya kok)
belum selesai Widya bicara, pak Prabu memotongnya"saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan) nya, di tutupi pakai kain, gitu to?"Widya mengangguk. rombongan menatap serius pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton, terdengar mereka sayup tertawa kecil
"ini itu namanya, Sangkarso. kepercayaan orang sini. jadi biar tahu, kalau ini loh pemakaman" terang pak Prabu, yang jawabanya sama sekali tidak membuat serombongan anak puas, sampai-sampai Wahyu dan Anton walaupun pelan sengaja menyindir. namun pak Prabu bisa mendengarnya.
"wong pekok yo isok mbedakno kuburan karo lapangan pak" (orang bodoh juga bisa membedakan kuburan dan lapangan bola pak)pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak."semoga saja, kalain tahu yang di omongkan ya"
kalimat pak Prabu seperti penekanan yang mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan, sontak, Bima langsung merespon dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton memilih diam setelah mendengar respon pak Prabu."mongo pak, bisa lanjut ke tempat selanjutnya"
tempat berikutnya adalah Sinden (Kolam, tempat air keluar dari tanah) pak Prabu mengatakan bahwa Sinden ini bisa di jadikan Proker paling menjanjikan, tidak jauh darisana ada sungai, inginya pak Prabu, Sinden dan sungai bisa di hubungkan, jadi semcam jalan air.
tanpa terasa, hari sudah siang.Ayu dan Widya sudah memetakan semua yang pak Prabu tunjukkan, memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling di utamakan sampai yang paling akhir di kerjakan.namun, tetap saja. selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan.
keganjilan yang paling mencolok adalah, tidak satu atau dua kali, namun berkali-kali, ia melihat banyak sesajen yang di letakkan di atas tempeh, lengkap dengan bunga dan makanan yang di letakkan disana, di tambah bau kemenyan, membuat Widya tidak tenang.
setiap kali mau bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahwa itu bukan hal yang bagus.Nur, setelah dari Sinden, ia ijin kembali ke rumah, karena badanya tidak enak, dengan sukarela Bima yang mengantarkanya, jadi, observasi hanya di lakukan oleh 4 orang saja.
kemudian, sampailah di titik paling menakutkan"Tipak talas" kalau kata pak Prabu. sebuah batas dimana rombongan anak-anak di larang keras melintasi sebuah setapak jalan yang di buat serampangan, di kiri kanan, ada kain merah lengkap di ikat oleh janur kuning layaknya pernikahan
"kenapa tidak boleh pak?" tanya Ayu penasaran.pak Prabu diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawaban namun ia enggan mengatakanya."iku ngunu Alas D****** , gak onok opo-opo'ne, wedine, nek sampeyan niki nekat, kalau hilang, lalu tersesat bagaimana?"
(itu adalah hutan belantara, gak ada apa-apanya, hanya mempertimbangkan, takutnya kalau kalian kesana, hilang, tersesat, lalu bagaimana?)sekali lagi, jawaban itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya. namun, perasaan merinding melihat jalanan setapak itu, nyata.
Lanjut gak??jadi cuma ngasih tau. cerita ini sangat panjang, karena gw harus menulis sedetail mungkin setiap kejadian selama 6 minggu itu. gw gak mau kehilangan setiap detail pengalaman si pencerita.btw, waktu denger ini, gw itu lemes tiap ingat waktu di ceritain lebaran lalu
observasi berakhir ketika pak Prabu mengantar rombongan kembali ke rumah beliau.ketika kembali, Wahyu dan Anton bertanya, dimana kamar mandi, ia tidak menemukan tempat itu di tempat mereka menginap, rupanya, setiap rumah di desa ini tidak ada satupun yang punya kamar mandi.
alasan kenapa tidak ada satupun rumah yang memiliki kamar mandi adalah karena sulitnya akses air.tapi, pak Prabu menjelaskan, di bagian selatan Sinden, samping sungai, ada sebuah bilik dengan kendi besar di dalamnya, disana, bisa di gunakan untuk mandi.
tidak berhenti di situ, pak Prabu mengatakan bahwa, mulai hari ini, kendi di dalam bilik akan di usahakan selalu terisi penuh, terutama untuk mandi anak-anak perempuan.untuk laki-laki, bisa mengisi air di kendi dengan cara menimba air dari sungai.
semua anak tampak paham, meski muka Wahyu dan Anton tampak keberatan, namun mereka tidak dapat melakukan apa-apa.sekembalinya ke penginapan, Widya melihat Nur tengah tidur, hari itu di akhiri dengan rapat dengan semua anak, lalu kembali ke kamar untuk mengerjakan laporan.
Sore menjalang malam.Nur sudah bangun, saat itu juga, Widya memintanya untuk mengantarkan dirinya pergi ke kamar mandi di bilik samping Sinden, awalnya Nur tampak tidak mau, tapi karena di paksa, kahirnya ia pun ikut dengan catatan, Nur adalah yang pertama masuk bilik.
Widya setuju. ia gak berpikir aneh-aneh.selama perjalanan, ia melihat setiap rumah yang di lewati, rata-rata sama, semua rumah tepan (tembok di depan) kiri-kanan dari gedek (bambu dianyam), langit sudah merah, dan setelah menempuh jarak lumayan, akhirnya mereka sampai di Sinden
bangunan Sinden itu menyerupai candi kecil, bedanya, kolamnya persegi 4 dengan air yang jernih tapi berlumut, setelah mencari-cari dari Sinden, ketemulah Bilik itu tepat di samping pohon Asem, yang besar sekali, rindang, tapi mengerikan.sempet ragu, tapi Widya bilang lanjut.
rupanya benar, ada kendi besar di dalam bilik itu.air juga sudah penuh di dalam kendi, Nur pun masuk, sementara Widya menunggu di depan bilik, matanya tidak bisa melepaskan diri dari bangunan Sinden yang entah kenapa seolah menarik perhatianya, di sampingnya, ada sesajen itu.
dari dalam bilik, terdengar suara air bilasan dari Nur, setelah mencoba mengalihkan perhatian dari Sinden, Widya baru sadar, ada aroma kemenyan di dekat tempatnya berdiri, di telusurilah wewangian itu, benar saja, di samping pohon asem itu pun ada sesajenya.
yang lebih parah, bara dari kemenyan baru saja di bakar.antara takut dan kaget, Widya kembali ke pintu bilik, dan dari dalam, sudah tidak terdengar suara air bilasan."Nur" "Nur" teriak Widya sembari menggedor pintu kayu, anehnya, hening, tidak ada jawaban dari dalam.
masih berusaha memanggil, terdengar sayup suara lirih, lirih sekali sampai Widya harus menempelkan telinganya di pintu bilik.suara orang sedang berkidung.kidungnya sendiri menyerupai kidung jawa, suaranya sangat lembut, lembut sekali seperti seorang biduan.
"Nur. bukak Nur!! bukak" spontan Widya menggedor pintu dengan keras, dan ketika pintu terbuka, Nur melihat Widya dengan ekspresi wajah panik"nyapo to, Wid?" (kanapa sih Wid?)ekspresi ganjil Widya membuat Nur kebingungan, terlebih mimik wajahnya mencuri pandang bag dalam bilik
"ayo ndang adus, gantian, aku sing gok jobo" (ayo cepat mandi, ganti biar aku yang jaga di luar)kaget, Widya sudah ragu, melihat samping Bilik ada sesajen, Widya tidak tau apa harus cerita ke Nur soal itu, namun dengan ragu, Widya akhirnya bergegas masuk bilik, menutup pintu.
bagian dalam bilik sangat lembab, kayu bagian dalamnya sudah berlumut hitam, di depanya ada kendi besar, setengah airnya sudah terpakai, meraih gayung yang terbuat dari batok kelapa dengan gagang kayu jati yang di ikat dengan sulur, Widya mulai membuka bajunya perlahan.
masih terbayang nyanyian kidung tadi, Widya mencuri pandang, ia tidak sendiri.

KKN Desa Penari versi WidyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang