Bab 22

87K 6.5K 198
                                    

🎉SELAMAT HARI AKSARA INTERNASIONAL!🎉

Tadinya aku nggak mau post hari ini. Tapi mengingat hari ini adalah hari aksara internasional, aku mau turut serta merayakan dengan post bab 22 ini. Terima kasih untuk seluruh votes-nya di bab kemarin! Aku shocked pagi-pagi bangun udah 300++. Lebih dari ekspektasiku😭 Terima kasih sekali lagi! Itu semua bikin aku semangat nulis dan menyelesaikan cerita ini. Dan terima kasih lagu-lagu John Mayer: Dreaming with a Broken Heart dan You're Gonna Live Forever in Me, yang sungguh kelabu hingga membuat aku jadi bisa mendapatkan feel sedih. Huft susah membangun feel sedih untuk diri sendiri yang sebenarnya mood-ku lagi baik.

***

Kirana PoV

Aku berkendara tak tentu arah, menghalau hatiku yang berdarah. Pandangku kian terbatas seiring mataku yang semakin bengkak dan kebas. Air mata mengalir tiada henti melalui sudut netraku kanan dan kiri.

Pikiranku kacau. Hormonku bersorak menertawakanku. Sesal, kecewa, pedih, dan puas, semua menyatu dalam batinku. Berulang kali kutatap layar ponselku. Terbesit harapan pria itu menghubungiku, menghalau keputusan yang kubuat tadi. Namun nihil, hingga malam hampir berakhir, pesan bujuk rayu tak jua kudapatkan.

Aku menepikan mobilku sembarang. Di tengah gelapnya malam, aku menengadah. Entah apa yang harus kulakukan sekarang, aku pasrah. Aku sudah memberitahunya perihal kehamilanku. Pasti Garin telah melihat foto yang kupajang di kulkasnya. Tapi mengapa ia tak kunjung menghubungi? Ataukah sebenarnya ia tak hanya takut menikah? Apa sebenarnya ia juga takut membangun keluarga? Menjadi papa? Atau memang ia yang tak begitu mencintaiku?

Aku mengusap perutku yang masih rata. Ada anakku di dalam. Janin yang masih begitu kecil, yang Tuhan anugerahkan kepadaku. Aku membangun tekadku, ada tau tiada pria, anakku harus tetap tumbuh besar dengan limpahan kasih sayang dariku. Kalau Garin masih punya hati, aku yakin, besok pria itu akan menghampiriku.

Hatiku gusar. Ini bagaikan gambling. Bila Garin kembali, tentu itu yang kuharapkan. Namun apabila justru pria itu benar-benar pergi, aku harus apa? Mengemis cinta? Meminta pertanggungjawaban? Gengsiku tak serendah itu.

Aku menarik napasku dalam-dalam. Jangan sampai hormon kehamilanku mampu menghancurkan gengsiku. Aku tidak boleh plin-plan! Aku kembali menengadah, berdoa pada Tuhan, mengharap pada semesta. Dalam doa kupanjatkan; semoga Tuhan beri jalan yang terbaik. Mungkin bila esok Garin datang bertanggung jawab, aku akan menerimanya. Namun bila tidak, mungkin itu petunjuk semesta bahwa Garin bukanlah pria yang tepat.

Pikiranku menelaah ke belakang. Materi, afeksi, karir, anak, semua sudah kumiliki. Apalagi tujuan hidup di dunia ini? Semua sudah kugapai. Cinta? Aku sudah puas merasakannya. Aku rasa, hidup tanpa cinta dari pasangan hidup tak jadi masalah. Bagas.. ya, aku bisa melihat Bagas tetap bahagia. Meski istrinya tiada, hidup dengan buah hati mereka sudah lebih dari cukup untuk Bagas. Aku bisa sepertinya, mencapai puncak tertinggi kesuksesan tanpa keberadaan pasangan. Toh kehadiran buah hatiku sudah lebih dari cukup. Anakku adalah buah cintaku. Tidak ada seorang pun yang boleh mengambilnya dariku.

C'mon Kirana! Bagas saja bisa hidup bahagia berdua dengan putrinya. Aku hanya perlu keteguhan hati. Tapi pikirku kembali menelaah maju. Bagaimana aku harus menjelaskan pada orang tua? Astaga, aku sudah mengecewakan tiga orang tuaku. Bagaimana ini?! Seketika kepanikan melanda batinku. Ayah sedang memimpin perusahaan BUMN besar. Firma hukum bentukan Mama juga sedang berada di posisi top 10. Aku tidak mungkin menghancurkan karir mereka bila hadir ke depan publik dengan berbadan dua.

Let It Pass [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang