Raiya menggeliat malas ketika mendengar suara alarmnya yang memekikan telinga. Rasanya ia masih sangat lelah namun waktu enggan memberikannya jeda. Dengan sangat berat hati, ia bangkit dari kasur dan mengumpulkan kesadarannya.
Dengan cekatan, Raiya mengikat rambutnya asal dan bergegas menuju kamar mandi untuk bersiap-siap. Ia menatap pantulannya pada cermin, mengamati lingkaran gelap pada bawah matanya yang semakin mengerikan. Raiya seperti zombie.
Tidak perlu banyak waktu bagi Raiya untuk mandi dan bersiap-siap menuju kampus. Ia hanya menggunakan make up simple yang berfungsi menutupi lingkaran hitam mengerikan itu juga sebuah lipstick berwarna cerah. Bagaimana pun, Raiya tidak mau terlihat seperti mayat berjalan.
Sejak dua tahun yang lalu. Raiya sudah terbiasa menyisikan waktunya untuk menyesap kopi sebagai sebuah suntikan tenaganya menghadapi hari yang panjang ini. Awalnya Raiya tidak pernah suka dengan kopi panas ini. Kayak bapak-bapak, pikirnya.
Namun, setelah menyadari jika satu-satunya hal yang bisa membuatnya menahan kantuk adalah segelas kopi, minuman ini menjadi sesuatu yang wajib bagi seorang Raiya Anzara.
Hanya satu gelas kopi, dan Raiya sudah siap menghadapi hari panjangnya. Kakinya melangkah dengan cepat menuju halte busway, menunggu bus dengan tujuan kampusnya.
Pagi hari di Jakarta tidak pernah mudah. Suara klakson, jalanan yang macet dan segala kerumitan lainnya adalah pemandangan yang menjadi makanan sehari-hari Raiya.
Jakarta dan segala kerumitannya adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, bagai sebuah kesatuan yang sudah ditakdirkan untuk saling mengikat.
Raiya menghela napas lega ketika ia akhirnya sampai di kampus, sungguh ia sudah sangat lapar dan ingin segera memakan nasi uduk yang ia beli di jalan tadi. Kakinya melangkah dengan cepat menuju kelas karena pergi ke kantin akan memakan banyak waktu dan yang terjadi malahan Raiya tidak bisa menghabiskan bekalnya.
Senyum Raiya sedikit mengembang ketika melihat sosok cantik yang sedang berpose centil di depan kamera. Divya Talitha, seorang beauty vlogger yang sudah bertahun-tahun menyandang status sebagai sahabat Raiya terlihat sangat menarik seperti biasanya.
Raiya membayangkan berapa banyak waktu yang Divya habiskan untuk tampil cantik seperti itu. Riasannya tidak berlebihan tapi tetap menawan, ciri khas seorang Divya jika pergi ke kampus.
"Good morning survival." Sapa Divya. Raiya terkekeh mendengarnya, itu adalah panggilan yang sering gadis itu berikan kepadanya.
"Good morning Kakak Selebgram." Sahut Raiya.
Divya tertawa, ia menaruh ponselnya di meja dan menatap Raiya. "Hahahha yayaya, ngomong-ngomong sarapan apa pagi ini? Bubur ayam atau nasi kuning?" tanyanya.
Raiya mendudukan diri di samping Divya sambil mengeluarkan plastic berwarna putih dari dalam tasnya. "Nasi uduk! Mau gak?"
Meski seorang beauty vlogger yang cukup hits, Divya tidak pernah sekali pun bersikap sombong. Gadis itu tetap apa adanya seperti dulu saat mereka pertama kali berteman.
"Mau! Tapi suapin dong, gue lagi bikin konten." Katanya dengan suara yang sengaja dibuat semanja mungkin.
"Ribet deh, kebiasaan."
Meski pun begitu, Raiya tetap mengiyakan permintaan Divya. Menyuapi sahabatnya itu nasi uduk yang tadi ia beli sambil sesekali mengintip layar ponsel Divya yang sedang sibuk melihat timeline instagramnya.
"Ohya, Ra, malem minggu nginep di kosan gue yuk?"
"Ngapain?"
"Gue mau menghindar dari pacar gue hahaha, jahat gak kedengarnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Claire de Lune [TERBIT]
Chick-LitBagi Arsyanendra Sagara, Raiya Anzara adalah kumpulan kata yang menjadi untaian puisi sempurna. Raiya adalah nyawa di setiap karyanya, Raiya adalah mimpi terindah yang pernah dirinya bayangkan. Mungkin, separuh bumi akan setuju jika Raiya adalah wa...