Arsya merasa sangat canggung saat berada di dalam mobil bersana dengan Divya dan juga Raiya, mungkin ini hanya perasaannya saja yang berlebihan.
Setelah pesta ulang tahun Divya selesai, ia sebagai lelaki yang berstatus kekasihnya tentu mengantarkan gadis itu pulang. Tapi Arsya tidak mengira jika Raiya akan ikut juga.
"Harusnya tadi gue pulang sendiri aja, Div. Kalau gini kan gak enak jadi nyamuk." Sungguh Arsya tidak merasa terganggu sama sekali dengan kehadiran dan ucapan Raiya barusan, gadis itu terdengar sangat bersalah.
Divya berdecak lalu menoleh ke belakang. "Ya gapapa kali. Lo pulang naik ojol malem-malem gini gak takut?"
"Takut apa?"
"Ya apa kek. Setan kek, begal kek. Apa aja yang bisa ditakutin."
"Enggak tuh."
"Raiya kalau lo cowok kayaknya bakal gue pacarin deh, serius lo aneh tapi keren."
"Yang aneh itu elo!"
Arsya terhanyut dengan obrolan ringan antara Divya dan Raiya, keduanya terlihat sangat dekat dan nyaman dengan satu sama lain. Bahkan Raiya memainkan rambut cokelat terang Divya sembari berbicara.
"Weekend itu yuk, Ra, ke puncak?"
"Ngapain?"
Divya kembali menoleh. "Jalan-jalan. Sama Arsya juga nanti deh, pokoknya enak. Yuk!"
Raiya memandang Divya dengan tatapan penuh arti, sebuah senyum yang terlihat miris terpasang di wajahnya. "Weekend nanti gue mau ke makam Ibu. Kan peringatan lima tahun kepergian Ibu."
Oh shit. Divya benar-benar lupa dan kini ia merasa sangat bersalah dengan Raiya. Bahkan Arsya yang tidak terlibat dalam perbincangan mereka juga merasakan perasaan mengganjal ketika mendengar hal tersebut.
"Ra...sorry banget gue lupa. Maaf ya? Nanti lo kesana sama siapa? Bapak?"
Raiya mengedikan bahunya. "Gak tau, kayaknya sendiri deh. Soalnya tahun lalu Bapak juga gak ke makam."
"Yaudah gue temenin."
"Katanya lo pergi."
"Gampang. Lo di makam gak dari pagi sampe tengah malam kan? Entar biar gue nyusul aja kesananya." Kata Divya sambil memasang senyum.
Satu hal yang Arsya sadari dari Divya adalah, gadis itu sangat ahli memperbaiki suasana. Keadaan yang tadi sedikit sendu bisa dengan mudah Divya netralkan kembali.
Raiya mencubit pipi tirus Divya. "Gak boleh terlalu baik! Nanti gue balasnya gimana?" tanyanya.
Divya tertawa kencang. "Balasnya dengan beliin gue nasi uduk satu porsi sendirian, karena sesungguhnya sebungkus berdua kurang!"
"Serius? Waktu itu lo gue beliin gak dihabisin, katanya defisit kalori lah ini lah. Too much gaya!" Ledek Raiya.
"Kali ini gue habisin karena bb gue udah ideal."
Sungguh meskipun seperti tidak dianggap oleh kedua gadis yang sedang asik sendiri itu, Arsya tidak marah sama sekali. Ia malahan sangat menikmati mendengarkan perbincangan mereka yang mengalir begitu ringan.
"Arsya antar gue dulu ya? Soalnya rumah dia ternyata searah sama kosan lo." Ucap Divya yang mendapat tatapan kaget dari Raiya.
"Ih! Enggak lah, dimana-mana tuh gue dulu. Biar lo bisa ngapain kek gitu!"
Divya tertawa. "Ngapain apaan? Gue udah bilang kok ke Arsya. Lagian kesian pangeran perfeksionis kita kalau sampe kemalaman dan bobonya kurang dari delapan jam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Claire de Lune [TERBIT]
ChickLitBagi Arsyanendra Sagara, Raiya Anzara adalah kumpulan kata yang menjadi untaian puisi sempurna. Raiya adalah nyawa di setiap karyanya, Raiya adalah mimpi terindah yang pernah dirinya bayangkan. Mungkin, separuh bumi akan setuju jika Raiya adalah wa...