"Bangun! Ayo bangun! Subuh! Subuh!" seru Bu Nyai Mahmudah dalam balutan mukena sambil memukulkan telapak tangan berkali-kali ke daun pintu dan dinding kamar untuk membangunkan para santrinya, aku dan teman-teman.
"Mad, bangun Mad! Bangun!" bisik Kholil di sebelahku yang mulai duduk mengucek-ngucek mata. "Ya, ya. Sebentar." Aku menggeliat pelan. Tapi gerakan kaki kiriku tak sengaja mendorong meja kecil di dekatnya, menyebabkan sebuah baskom plastik berisi peralatan mandi yang ditaruh di atasnya terjatuh tepat di samping kepala Nawi, membuatnya terbangun kaget dan langsung marah karena mulutnya terkena cipratan pasta gigi dan sisa air sabun yang terpental keluar dari baskom.
"Kurang ajar!! Siapa ngolesi mulut saya pakai sabun dan odol?!! Jangan jahil kalau mbangunkan orang!!" teriak Nawi yang kulihat sibuk mengelap bibirnya dengan ujung kain sarung. Dia nggak tahu kalau kakiku yang mestinya bertanggungjawab, sehingga menghindarkan diriku dari amarahnya. Tapi Bu Nyai yang berdiri di pintu mengira Nawi tak terima dibangunkan.
"Itu Nawi, ya?! Ayo cepat bangun! Disuruh bangun kok malah ngomel! Ayo semuanya, banguun!! Suara Bu Nyai makin meninggi seiring makin kerasnya bunyi telapak tangan beliau beradu dengan kayu pintu, dan teman-teman pun terjaga semua dari tidurnya. Hampir tiap hari suara khas istri Kiai Malik tersebut menyapa kami sekitar setengah jam sebelum azan Subuh berkumandang, menyudahi aneka bunyi dengkuran, gemeretak gigi, dan racauan yang kerap saling bersahutan di keheningan malam.
Bagi yang berpendengaran sensitif, mengidap kecemasan berlebih, atau gampang diserang rasa panik, tidur di tengah himpitan banyak orang dengan mulut yang sulit diam saat mata terpejam tentu bakal menjadi siksaan tersendiri. Dari dua puluh lima anak yang sekamar denganku, tak semuanya gemar menciptakan suasana berisik. Tapi kalau terdapat lima atau tujuh orang saja dari mereka yang bersuara di kala terlelap, itu artinya sudah cukup membikin kebisingan yang sangat mengganggu lingkungan.
Untungnya aku tergolong cepat beradaptasi, memaklumi berbagai situasi baru yang asing bagiku, termasuk untuk urusan tidur bareng teman-teman dengan kebiasaan yang beragam. Kegaduhan jarang sekali menghalangiku tertidur pulas, kecuali jika sampai terasa memekakkan telinga. Namun tidak demikian halnya bagi orang yang kupingnya ditakdirkan memiliki kepekaan di atas rata-rata. Bunyi peci jatuh pun bisa spontan membuatnya terjaga, apalagi mendengar suara ngorok berapi-api dari orang di sebelahnya yang mirip gelora irama musik pengiring acara parade tentara, minus aturan tangga nada.
Berkali-kali kusaksikan teman yang mendadak bangun lantaran tersentak oleh suara-suara tak terkontrol di sekelilingnya itu, meski tak seheboh reaksi terhadap teriakan Komar yang menyebabkan lebih dari separuh penghuni kamarku bangkit serentak dari tidurnya tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Waktu itu aku kebetulan sedang duduk santai, belum dapat memejamkan mata walaupun jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Entah apa pemicunya, kulihat Komar yang sedang terbujur di ubin teras tiba-tiba mengangkat kedua tangan, melambai-lambaikannya seakan mewakili gerakan kepala menggeleng berulang-ulang, dengan raut wajah ketakutan yang justru memancing senyumku.
"Bu ... bukan saya, Pak. Bukan saya malingnya. Dia yang lari itu malingnya, Pak," ocehnya sesaat kemudian dengan mata yang kulihat masih tertutup rapat.
Sialnya, kata-kata maling yang dilontarkannya itu terdengar Hanif, anak asal Semarang dengan telinga agak sensitif, yang tidur di kolong rak buku di sudut kamar, hingga terkaget dan bergegas bangun, menimpali suara Komar tanpa mempedulikan lagi kepalanya yang terantuk kaki rak cukup keras.
"Maling? Mana malingnya?! Maliing ... maliing!!" teriaknya kencang, yang seketika membangunkan belasan teman-temannya, dan dengan kesadaran yang belum pulih sepenuhnya, mereka berusaha berdiri serta memungut benda apa saja di dekatnya yang bisa dijadikan senjata untuk menghadapi maling yang sebenarnya tidak ada. Aku pun terpingkal-pingkal dibuatnya, dan baru berhenti tertawa saat mereka kembali tidur setelah puas memaki-maki Komar dan Hanif, yang nampak celingukan dan saling melempar kesalahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Bumi
Teen Fiction"Apakah setiap anak tidak berhak merajut mimpinya sendiri? Bukankah masa depanku adalah misteri kebahagian dan kepedihan yang bakal dipikul jiwa-ragaku tanpa sandaran bahu orang lain?" Aku sungguh kecewa, tak mengerti apa yang ada dalam pikiran aya...