#4 Warung Mak Nur

10 2 0
                                    

Aku duduk bersila memegang Alquran sebagaimana belasan anak di kanan-kiriku, menunggu giliran mengaji di hadapan Kiai Malik, yang akan menyimak dengan seksama dan mengoreksi setiap bacaan yang salah.

Sekitar lima belas menit seusai salat Subuh berjamaah di masjid, pintu rumah Kiai Malik selalu dibuka, dan lampu ruangan depan mulai dinyalakan. Beliau lalu duduk di lantai menyandar dinding, di hadapan lemari buku yang memisahkan ruangan tamu itu dengan ruang tengah yang merupakan area khusus perempuan. Tapi sebelum itu, aku dan teman-teman biasanya sudah tertib mengantri di depan pintu, dan begitu dibuka, kami langsung menghambur masuk ke dalam, kembali duduk berjejer sesuai antrian.

Masing-masing anak mengaji selama kurang lebih lima hingga tujuh menit. Seberapa banyak ayat Alquran yang dibaca tergantung seberapa sering kesalahan yang dilakukan. Kiai Malik sungguh jeli meski tak satu kali pun melihat tulisan di lembaran kitab suci yang sedang dieja santrinya. Beliau dengan cepat mengingatkan cara pengucapan huruf dan kata yang terdengar melenceng dari kaidah bahasa Arab atau ketentuan qira'ah Alquran.

Bila kesalahannya terlalu parah dan berulang-ulang, Kiai Malik akan menyarankan untuk berhenti membaca, serta menyuruh yang bersangkutan belajar dulu kepada santri senior, mengingat keterbatasan waktu yang tersedia. Paling lambat jam enam tepat kegiatan ngaji itu harus selesai, karena para santri mesti sarapan dan berkemas-kemas untuk berangkat sekolah.

Aku melirik ke arah Cecep, teman dari Indramayu yang berada di samping kananku. Dari tadi kuamati tangannya gemetar memegang pulpen yang digoreskan ke mushaf Alquran miliknya.

"Kamu nulis apa?"
"Eeh ... aku belum lancar membaca."
"Terus?"
"Aku mau tulis ejaan bahasa Indonesianya di bawah tulisan ayat-ayat ini."
"Haah?? Bukannya lebih sulit kalau membaca Alquran pakai bahasa Indonesia?"

Cecep terdiam, bingung menanggapi pertanyaanku, tapi tetap melanjutkan nulisnya, menyesaki celah sempit di antara deretan ayat dengan aksara Latin, yang menurutku agak ganjil dan justru merepotkan. Aku jadi ikut sedikit cemas sewaktu tiba giliran dia akan disimak bacaannya, dan ternyata belum sampai satu menit disuruh berhenti.

"Sudah, sudah cukup. Belajar dulu di kamar ya Cep, biar ngajinya lancar," kata Kiai Malik yang tampaknya iba melihat wajah Cecep tegang, mengeja ayat Alquran tersendat-sendat dan nadanya datar seperti membaca tulisan di surat kabar.

Selesai mengaji, aku balik ke kamar mencari Cecep dan mengajaknya ke warung dekat Madrasah Tsanawiyah. Lontong sayurnya enak, selain harganya murah. Cuma tujuh puluh lima rupiah per piring, berisi sayur lodeh bertabur potongan tahu-tempe diiris dadu, plus lontong tentunya. Kolak ubi yang dijual juga tak kalah murah, hanya dua puluh lima rupiah semangkuk. Dengan dua koin uang pecahan seratus di saku, aku sudah merasa jadi orang kaya saat masuk ke warung Mak Nur ini, bersama seorang teman yang akan kutraktir.

"Pertama ke situ, aku sempat kaget, kok bisa murah banget. Di kampungku saja sudah nggak ada nasi yang harganya di bawah seratus rupiah," kata Cecep saat kami jalan menuju warung.
"Aku sebenarnya juga heran. Terakhir beli nasi bungkus di kantin SD-ku saja harganya seratus lima puluh, dan itu sudah enam bulan lalu," tukasku tak kalah penasaran.
"Aku kadang mikir, apakah masih untung kalau dagangannya begitu murah."
"Pastilah untung. Kalau rugi, nggak mungkin jualan terus."
"Benar juga sih."
"Aku pernah ngasih uang lebih, karena nggak tega lihat Mak Nur. Tapi malah ditolaknya."
"Mungkin orang kayak dia malah merasa nggak butuh uang banyak."
"Kamu ada-ada saja. Semua orang suka uang. Makin banyak uang makin senang."
"Itu karena kamu menganggap semua orang pikirannya sama, mata duitan."
"Ah, kamu bicaranya jadi seperti ayahku."
"Maksudnya?"
"Eeh, nggak ada."
"Memang kenapa?"
"Nggak apa-apa."

Aku cengar-cengir dan mengajak Cecep bercanda, mengalihkan pertanyaannya yang kurasa tak perlu kujawab. Namun setelah itu diam-diam pikiranku menerawang jauh, menyelami serpihan-serpihan memori yang selama ini kujalin bersama ayah, sosok laki-laki galak tapi amat pemurah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 13, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lentera BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang