Aku tak habis pikir, kenapa tiga bulan lalu betul-betul serius mengerjakan soal-soal ujian masuk Madrasah Tsanawiyah, padahal sama sekali tak berharap diterima sebagai siswa barunya. Lembar jawaban mestinya kuisi sambil menutup mata atau dicoret-coret, digambari apa saja sebagaimana sering kulakukan di bangku SD saat jenuh mendengar guru menjelaskan berulang-ulang materi pelajaran yang sama.
Dulu pernah tanpa kusadari, guru wali kelas enam tiba-tiba berdiri di sampingku, mengambil buku Bahasa Indonesia di mejaku yang penuh sketsa beragam kendaraan; motor, mobil, kapal, kereta api, dan pesawat terbang, yang iseng kubikin ketika beliau menerangkan bentuk-bentuk kalimat.
Aku kaget bukan kepalang, dan sebelum reda rasa cemasku, tangan kananku digandeng, dibimbingnya berjalan ke depan. Awalnya kukira bakal dihukum dengan didiktekan satu atau dua pertanyaan dadakan yang harus diuraikan jawabannya di papan tulis. Tapi dugaanku keliru.
"Anak-anak, sekarang kita dengar Ahmad bercerita tentang gambar-gambar di bukunya," kata Bu Sofi dengan tatapan tajam mengarah padaku seraya mengangkat buku yang kucoret-coret, untuk diperlihatkan ke semua murid.
"Bercerita ... apa, Bu?" tanyaku terbata-bata.
"Ceritakan gambar yang kamu buat ini! Mulai dari pesawat!"
"Oh, baik, Bu. Teman-teman, pesawat adalah ..."
"Jangan langsung begitu!" sela Bu Sofi.
"Kamu beri tahu dulu, bagaimana suara pesawat!"
"Wuush, wuush."
"Itu suara kipas angin, bukan bunyi pesawat terbang! Ulangi yang keras!"
"Wuuush, wuuush," teriakku kencang yang kontan mengundang tawa seisi kelas.
"Sekarang suara kereta api!"
"Jreng jreng, jreng jreng."
"Pilih suara yang cocok! Itu seperti bunyi gitar!"
"Saya nggak tahu, Bu."
"Ya sudah, cukup. Sana, duduk lagi!" tukas beliau yang akhirnya tak mampu menahan senyum lebarnya.Meski galak, Bu Sofi orangnya baik. Setidaknya menurutku. Aku tak pernah dongkol walaupun tiga kali beliau menuliskan laporan kurang menyenangkan di Buku Penghubung yang rutin diberikan ke wali murid setiap akhir caturwulan, bersamaan dengan pembagian buku rapor. Isi tulisannya di halaman utama selalu sama: Ahmad suka jalan-jalan di kelas waktu guru menerangkan pelajaran.
Aku cukup sering memenangkan sayembara kecil yang sengaja dibuat Bu Sofi sebagai kejutan menjelang jam pulang. Beliau mempersilakan siswanya keluar kelas duluan kalau mampu menghafal surah-surah dalam Juz Amma yang disebutnya acak, yang tergolong panjang dan berat bagi teman-temanku. Aku kebetulan diuntungkan oleh kebiasaan ayah memaksaku mengaji Alquran usai salah Magrib di rumah, termasuk menghafalkan ayat-ayat Juz Amma dari awal surah hingga akhir, ditemani sebatang rotan panjang di atas meja yang siap diayunkan ke tubuhku setiap kali aku cengengesan atau tak serius mengeja rentetan aksara Arab di hadapanku.
Aku hanya berhenti mengangkat tangan saat Bu Sofi melarangku. "Kamu diam dulu, Mad! Ayo, lainnya. Siapa yang ingin cepat pulang?" Bila mulai putus asa karena tak ada murid yang siap memenuhi tantangan, beliau akan menurunkan kadar kesulitan sayembara, hingga serendah-rendahnya. "Sekarang, siapa yang hafal surah Al-Kafirun boleh pulang."
Temanku, Wawan, pernah mencobanya. Ia angkat tangan, lalu pede maju ke muka sambil menyelempangkan tasnya untuk bersiap pulang. Celakanya, surah pendek yang berisi cuma enam ayat itu dibacanya lebih dari satu menit tanpa berkesudahan. Ia bingung untuk mengakhiri karena ingatannya terbelit dua ayat di dalam surah Al-Kafirun yang bunyinya sama. "Jangan diputar terus kayak rantai sepedamu! Cukup! Balik lagi ke kursimu!" tegur Bu Sofi.
Sebagai wali kelasku sejak kelas lima, Bu Sofi sebetulnya mafhum dengan kebiasanku. Aku bukan murid pemalas yang enggan belajar serius. Aku selalu memperhatikan sungguh-sungguh semua yang diajarkan guru di kelas. Kucatat semua pengetahuan baru yang penting, dan kuhafalkan. Aku juga menanyakan setiap hal yang belum kupahami, dan tidak akan berhenti bertanya sebelum puas dengan jawaban yang disampaikan guruku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Bumi
Fiksi Remaja"Apakah setiap anak tidak berhak merajut mimpinya sendiri? Bukankah masa depanku adalah misteri kebahagian dan kepedihan yang bakal dipikul jiwa-ragaku tanpa sandaran bahu orang lain?" Aku sungguh kecewa, tak mengerti apa yang ada dalam pikiran aya...