# 1 Petualangan Pertama

91 2 2
                                    

"Keamanan! Ada Keamanan datang!" Teriakan dari arah belakang itu mengagetkanku serta belasan anak yang sedang asyik menonton TV selepas salat Isya. Tanpa dikomando, mereka menghambur keluar, lari tunggang-langgang ke berbagai penjuru untuk bersembunyi, atau memutuskan bergegas pergi sejauh-jauhnya.

Kutoleh wajah Pak Karyo yang duduk bersila di atas kursi di sampingku sambil menikmati kepulan asap rokok kretek meluncur dari mulutnya. Maksudku hendak bertanya, mengapa anak-anak begitu ketakutan. Namun sang pemilik rumah yang merelakan ruang tamunya disesaki para remaja belia pencari hiburan gratis itu rupanya memahami gurat penasaran di wajahku.

"Kalau cuma lihat TV, nggak apa-apa. Nggak bakal digunduli kok," katanya sebelum sempat kuajukan pertanyaan.
"Tapi kalau takut dimarahi, ya sudah, kamu pergi saja."
"Kamu santri baru ya?"

Saat aku akan menimpali ucapan Pak Karyo, salah satu teman nontonku yang belum kukenal namanya tahu-tahu muncul kembali di depan pintu.

"Hei, ayo cepat pergi! Lihat itu, orang Keamanan sudah dekat. Sebentar lagi sampai ke sini! Kamu bakal dihukum kalau ketahuan!" Anak itu pun melesat pergi lagi usai berbaik hati mengingatkan diriku, yang kini mulai berdiri menghadap ke luar, mengamati gerak dua larik sinar dari kejauhan yang makin lama makin mendekat ke arahku.

Sebenarnya aku kurang berselera ikut kabur. Di benakku, menyaksikan acara televisi sepertinya memang bukan sebuah pelanggaran, apalagi cuma berlayar hitam-putih ukuran 14 inci, yang gambarnya sering goyang-goyang tak karuan.

Waktu pertama kali tiba di pesantren lima hari lalu, kuingat betul larangan pertama yang disampaikan Kiai Malik, persis sebagaimana bunyi tulisan yang menempel pada papan pengumuman di masjid dan kantor keamanan: SANTRI DILARANG NONTON BIOSKOP, dan menonton televisi tentu tidak bisa dianggap sama, pikirku.

Tapi rona ketakutan yang terpancar dari wajah teman-temanku tadi tidak memberiku banyak kesempatan berpikir dan menduga-duga gerangan apa yang akan terjadi seandainya memilih tetap diam di situ. Dalam hitungan detik, aku segera mengabaikan rasa penasaran, buru-buru memakai sandal dan turut mengambil langkah seribu.

Aku termasuk beruntung karena berhasil lari meliuk-liuk di antara semak belukar dan pepohonan, termasuk kumpulan pohon bambu yang kerap menjadi jebakan memilukan bagi siapa pun yang melintasinya di malam hari tanpa menyadari pentingnya kewaspadaan mata.

Di balik tumpukan janur kering dan gundukan bata mentah setinggi kurang lebih satu meter yang teronggok di salah satu sudut barongan, aku merasa seperti anggota serdadu perang gerilya yang sukses menemukan tempat persembunyian di tengah sergapan pasukan musuh yang kehadirannya tak disangka sama sekali.

Namun sejurus kemudian aku merasa ada yang sedikit aneh dengan sandalku. Meski dalam posisi membungkuk, aku dapat mengenali sepasang alas kakiku ternyata tak lagi sama tinggi. Kaki sebelah kiri seolah jadi sedikit lebih pendek dibanding yang kanan. Karena terhalang pekatnya malam, dengan perlahan kulepas sandal sebelah kiri, kupungut dan kupandangi lekat-lekat.

"Waduh, kenapa jadi ketukar sandal butut begini?" gerutuku seraya mengamati sandal jepit yang nyaris setipis kertas karton berhias dua lubang menganga di bagian depan dan belakang, tempat jari jempol dan tumit biasa menumpukan tekanannya ke tanah. Sementara kaki kananku bernasib mujur. Sandal kulit warna krem yang dipijaknya tidak raib sebagaimana pasangannya. Mungkin saat mau lari, kaki kiriku tak sempat memperhatikan dengan seksama sandal yang disambarnya.

"Ah, sudahlah. Beberapa menit lagi, kalau suasana aman, aku akan kembali ke rumah Pak Karyo. Pasti sandal kulitku yang satu masih tergeletak di dekat pintu atau berpindah ke pelataran depannya akibat ketendang-tendang puluhan kaki santri yang tergopoh-gopoh mencari sandalnya masing-masing," hibur hatiku.

Lentera BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang