prologue;

1.4K 112 12
                                    


📌WARNING!
Cerita ini mengandung materi yang diperuntukan untuk pembaca dewasa. Tidak dianjurkan untuk dibaca anak-anak dibawah umur.

DISCLAIMER: “Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua karakter dan alur cerita hanya bertujuan untuk menghibur dan tidak untuk diyakini didalam kehidupan nyata. Karakter orisinil sepenuhnya hasil imajinasi penulis.”

Present:

            Barangkali kalau diberi pilihan untuk terlahir sebagai putri tunggal dari pengusaha tersukses di negaranya, atau tidak sama sekali, mungkin gadis itu akan memilih opsi yang kedua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

            Barangkali kalau diberi pilihan untuk terlahir sebagai putri tunggal dari pengusaha tersukses di negaranya, atau tidak sama sekali, mungkin gadis itu akan memilih opsi yang kedua. Tidak sama sekali. Dilahirkan dari pasangan Philip Boy Ainsley dan Jolicia Borg awalnya cukup sempurna bak tinggal di sebuah kerajaan—hidupnya selalu dilayani dan apapun yang diinginkan selalu didapatkan dengan mudah.

Yah, itu hanya awal yang agaknya akan berakhir buruk di usianya yang kini menginjak 22 tahun.

Pemikiran semacam itu datang tepat disaat mobil mewah yang selalu mengatar-jemputnya kemanapun tiba di rumahnya. Gadis itu mendapati ada dua mobil asing di halaman rumah. Awalnya tidak menghiraukan, tetapi tatkala kaki jenjangnya telah menginjak sempurna lantai marmer rumahnya disertai rungunya mendengar teriakan dari belah bibir pribadi yang ia kenal. Pun manik kembarnya mendapati sebuah lembaran yang membentang di area pintu rumahnya.

Bangunan Ini Telah Disita.

Seperti mimpi buruk. Kakinya mengambil langkah cepat. Berlari kecil. Jantungnya sudah berdegup kencang setelah membaca spanduk yang ada di dekat pintu, tetapi nyatanya lebih buruk saat kedua maniknya mendapati kedua orang tuanya dalam posisi mengerikan. Dua pria bertubuh besar mengunci tubuh ayahnya, pun sang ibu mendapatkan hal serupa. Lebih parahnya masing-masing dari mereka membawa sebuah pelatuk yang mengarah ke orang tuanya.

Jumlahnya tujuh orang, semuanya memakai pakaian hitam—lebih didominasi dengan kemeja yang membalut tubuh kekar itu. Hanya ada satu pribadi yang terlihat kontras, pria dengan mantel panjang berwarna hitam.

“Rumah ini sudah disita oleh Bank, lalu bagaimana kau akan membayar hutangmu padaku?” Perkataan yang terlontar dari satu pribadi itu seakan menjelaskan bahwa yang datang saat ini bukanlah pegawai Bank.

Tatapan datar pria bermantel hitam seakan menjadi ciri khas, menikmati nikotin ditangan agaknya sedikit membuatnya lebih santai. Dirinya merasa sia-sia sebab sudah menyempatkan waktunya untuk menagih hutang pada seorang pengusaha terkenal di Malta tetapi justru tidak mendapatkan sepeserpun.

Hentakan alas kaki mengusik kegiatannya. Pria itu menoleh, mendapati seorang gadis melangkah tergesa lalu berhenti tidak jauh dari keberadaannya. Sebelah alisnya terangkat, gadis yang kini berada dalam jangkauannya terlihat cukup familiar—merasa seperti pernah bersua.

Presensi gadis itu pun menarik atensi semua pribadi yang ada di ruangan utama. Dengan pergerakan cepat, tubuhnya dihimpit dengan dua pria lain. Kelu. Tubuhnya gemetar dan terserang ketakutan. Gadis itu mendapati ibunya menangis sesenggukan. Bukan itu yang mengusiknya saat ini, melainkan sejak disaat pria bermantel hitam itu menoleh—berhasil membuatnya terkejut bukan main. Netranya membulat disertai tubuhnya yang meremang.

“Jauhkan tangan kalian dari putriku!” Sang ibu berseru disela tangisnya. Sementara, gadis itu mendapati ayahnya hanya diam tanpa melakukan pemberontakan.

Senyuman disebelah sudut bibir pria bermantel hitam mulai terlihat. Kakinya melangkah perlahan, mendekati gadis yang kini mencoba keluar dari rematan tangan dua pria yang menghimpit tubuhnya. Netra monolid itu menatap secara seksama—gadis yang memakai kemeja putih dengan mini skirt abu-abu sebatas lutut. Jangan lupakan perhiasan dari brand ternama yang selalu menghiasi tubuh eloknya.

Netra monolidnya bergulir menatap benda yang melingkar di area leher gadis itu—sebuah name tag. Corrie Ainsley as deputy chairman organization, begitu bunyi name tag yang menampilkan nama gadis itu disertai nama sebuah universitas di Malta.

“Kenapa kau ada disini?”

Sang gadis akhirnya bersuara setelah cukup lama kepalanya dihantam rasa nyeri untuk berpikir. Melihat netra monolid pria itu yang menyayup membuat nyalinya menciut. Sepersekon, pria itu kembali membalikkan tubuhnya untuk mendekati eksistensi sang ayah dan ibu.

“Tanyakan saja pada ayahmu, Nona!” Pria mantel hitam itu menjawab acuh, langkahnya berhenti tepat di depan pria yang berusia setengah abad. “Apa yang harus aku dapatkan sekarang sebagai gantinya?”

Tidak ada jawaban. Philip hanya menunduk pasrah. Kepalanya terserang pening bukan main. Apapun sudah ia lakukan untuk membuat usahanya kembali selepas ditipu milyaran oleh rekan kerjanya. Semua asetnya sudah diambil, ia tidak memiliki apapun untuk membayar hutangnya kepada salah satu anggota Fortisdevil—komplotan mafia yang ada di Malta.

“Aku boleh membawa putrimu sebagai jaminan sampai kau membayar semua hutangmu?” Sebuah gertakan sebab aslinya ia tidak menginginkan. Ia jengah, negosiasi baiknya tidak mendapatkan timbal balik yang serupa karena Philip hanya terdiam sejak awal kedatangannya.

Jolicia menoleh cepat, irisnya menatap nanar sang suami, kepalanya menggeleng untuk mengisyaratkan sebuah penolakan. Tetapi faktanya hal buruk terjadi tatkala Philip mengangkat kepalanya, pria paruh baya itu menatap sendu ke arah Corrie.

“Bawalah putriku sebagai jaminan. Saat ini aku tidak memiliki apapun lagi..... Tuan Vincent.”

Buliran jernih mengalir begitu saja, Corrie memberontak dari genggaman dua pria saat perkataan itu terlontar dari belah bibir ayahnya—meninggalkan bekas kemerahan di kulitnya yang putih. Kakinya berlari membawa tubuhnya mendekati sang ayah.

“Tidak! Apa yang ayah katakan? Aku tidak mau!”

Corrie pasti menolak mentah-mentah untuk ikut bersama tujuh pria yang sama sekali tidak dikenal. Teriakannya yang cukup menyakitkan di kerongkongan memberikan afeksi yang sama pada Jolicia.

“Robert, bawa dia!” Mutlak. Titahan pria bermantel hitam itu mengudara. Tubuhnya berbalik lebih dulu, kakinya melangkah santai untuk keluar dari rumah megah itu menuju mobil. Meninggalkan apa saja yang terjadi dari keluarga kecil itu untuk melakukan perpisahan.

Philip patut menyesal, berurusan dengan salah satu komplotan Fortisdevil sama saja menyerahkan dirinya untuk terseret pada sebuah nestapa yang tidak akan pernah usai. Pria itu—Vincent Terrance, pria bermantel hitam dengan wajah tampan bak dewa, terlihat lebih tenang dan pendiam, nyatanya memiliki kepribadian yang berbanding terbalik. Vincent begitu arogan, kejam dan tidak mengenal belas kasih. Teriakan permohonan dari belah bibir gadis itu bersama ibunya pun tidak mengusiknya sama sekali.

Kaki jenjang Vincent tetap melangkah sampai dirinya memasuki mobil lebih dulu, diikuti Robert dan Rocky yang membawa eksistensi Corrie untuk ikut bersama mereka.

Pemberontakan Corrie tidak menghasilkan apapun. Tatkala tubuhnya memasuki mobil, gadis itu merasa sebuah neraka ada di depan mata.

 Tatkala tubuhnya memasuki mobil, gadis itu merasa sebuah neraka ada di depan mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

maukah kalian nemenin Corrie hidup bersama Vincent? wkwk

---

*Kalian bebas memberikan kritik/saran, ya. Kalau berkenan, beritahu aku kalau ditemukan typo. Dan semoga selalu sabar nunggu updatean karena aku baru kembali menulis setelah 2 tahun hiatus, jadi mohon dimaklumi dan berikan dukungan.^^

With love,
Meidiniken(´ε`*)

𝙀𝙎𝘾𝘼𝙋𝙀 𝙍𝙊𝙊𝙈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang