uno.

51 6 0
                                    

[Kamis, 30 Oktober 1965]


Matahari baru bangun dari tidurnya, burung-burung berkicau dengan indah, angin semilir menyapa pagi. Aruna berusaha menikmati paginya, menghirup dalam-dalam udara segar.

"ARUNA! CELANAKU DIMANA?" Aruna mendengus kesal, ada saja yang merusak pagi indahnya. Dia sengaja membuat hentakan kaki terdengar keras, seakan menandakan kekesalannya.

"Apalagi sih, Ris?"

"Celanaku yang kamu pinjam kemarin ada di mana? Mau tak pakai."

"Ya, mboh. Sudah tak taruh di kasurmu kok. Kalau hilang, yowes."

"Enak aja. Itu celana mahal, Na. Pokoknya kalau celana itu hilang, kamu tanggung jawab."

Aruna memutarkan bola matanya. Memilih jalan lurus ke arah dapur, ia terlalu malas memikirkan Haris dan celana bodohnya itu. "Maaf ya, Ris. Aku males ngurusin kamu sama celanamu."

Baru saja satu langkah keluar dari kamar Haris. Rambut Aruna terasa tertarik dengan kuat. Siapa lagi pelakunya kalau bukan, Haris Daniswara. Netra hitam legam Haris memancarkan kemarahan.

"HARIS JANGAN TARIK RAMBUTKU!"

"KEMBALIKAN DULU CELANAKU, ARUNA BODOH."

"LEPASIN, HARIS DANISWARA!"

"KEMBALIKAN CELANAKU, ARUNA NARASNAMA."

Adegan saling sahut menyahut dengan nada yang lumayan menyakitkan di dengar telinga terjadi diantara dua saudara kembar, Aruna dan Haris.

"Haris, Aruna. Cukup."

(˚୨୧。)

Kedua insan yang sedari tadi bersahut-sahutan terdiam tak bersuara di depan bapak. Mereka bertukar sorotan tajam. Dibalik sorotannya mereka menyalahkan satu sama lain.

"Bisa jelasin ke bapak kenapa kalian ribut sekali tadi?"

Senyap. Sama sekali tidak ada bunyi yang keluar dari mulut kedua insan tersebut.

Sorot mata bapak semakin tajam melihat anak kembarnya malah bisu saat ditanya bukan malah menjawab.

"Aruna. Bisa jelaskan?" pertanyaan sang bapak dihadiahi sebuah anggukan dari Aruna.

"Tadi, Aruna baru bangun. Tiba-tiba si curut ini teriak-teriak minta dicarikan celananya, pak. Padahal, kemarin sudah ditaruh di kasurnya dia. Tapi, Haris malah jambak Aruna."

Haris yang mendengar ucapan tadi langsung menoyor kepala Aruna.

"Aruna, bohong, pak. Emang dia yang hilangin celana Haris. Sedangkan, celananya mau dipakai jalan sama kak Dinar."

"Sudah, sudah."

Mata hitam legam bapak melirik ke arah Haris, "Ris, kamu itu laki-laki. Bersikaplah baik ke Aruna. "

Aruna menjulurkan lidah mengolok-olok Haris yang sedang dinasehati bapak. "Kamu, Aruna. Semisal meminjam barang orang, dikembalikan."

Mereka pun kembali menunduk dan berucap, "Iya, pak. Ndak diulangin lagi."

(˚୨୧。)


"Bapak, nanti boleh tidak Aruna jalan sama mas Chandra?"

Netra Haris terbelalak, dia tahu betul siapa Chandra itu. Manusia parasit, tidak tahu aturan, belagu, suka main perempuan dan mental pengecut. "Tidak, tidak boleh." ujar Haris.

"Apa sih, Ris! Masa jalan sama mas Chandra saja tidak boleh."

"Aruna, aku tahu betul bentukan Chandra. Dia bukan orang baik, Aruna. Buat apa juga kamu jalan dengan dia lebih baik sama aku."

Bapak hanya bisa menggelengkan kepala mendengar cek-cok dua orang yang berada di depannya. Dia terlalu malas untuk memisahkan keduanya.

Lain cerita dengan Aruna yang kesal bukan main. Hanya karena ia ingin jalan dengan mas Chandra sampai segininya dilarang. Tidak mungkin juga ia akan terpikat dengan kata-kata manis mas Chandra.

"Cuma mau jalan saja kok. Kenapa harus dilarang? Lagipula, mas Chandra berbeda sama yang kamu ceritakan."

"Harus berapa kali aku bilang, dia bertolak belakang sama apa yang kamu pikirkan sekarang, Aruna."

"Terserahlah, aku jadi malas keluar kalau seperti ini caranya."

Dia meninggalkan meja makan dengan makanan yang sama sekali belum tersentuh sedikitpun. Hatinya sudah kacau, muak dengan kata-kata saudara kembarnya itu.

(˚୨୧。)

This book is dedicated to ibu EkaMujahidin.

P.S

Foto diatas memvisualisasikan seorang Aruna Narasnama.

riuh.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang